Young Dumb & Broke

Thursday, March 15, 2018

Senja di Flagstaff

Suatu sore beberapa hari yang lalu, saya jalan-jalan ke danau dekat rumah. Teman saya memancing, saya nontonin awan-awan, bebek, dan pohon yang melambai-lambai. Sepanjang sore itu, lagu Young Dumb Broke -nya Khalid selalu diputar berkali-kali. Sampai nempel di kepala dan bikin saya muak.

Lalu tadi sore, saya jalan sendirian menuju halte bus. Lagu itu tiba-tiba kembali melintas di pikiran saya. Saya jadi kepikiran, enak juga ya waktu masanya young, dumb, and broke. Masih muda, walau ngga punya uang tapi bisa senang-senang menikmati hidup. Bebas berekspresi tanpa pretensi. Hidup pada momennya. Betapa pun jahatnya hidup, selalu ada cinta yang akan diberikan.
I can not give you everything, you know I wish I could
I'm so high at the moment
I'm so caught up in this
Yeah, we're just young, dumb and broke
But we still got love to give
Yaa.. Itu lagu cocoknya untuk anak-anak remaja, bukan lagi untuk perempuan muda hampir 30 tahunan kayak saya ini. Kalau udah seumur saya ini harusnya udah mikirin yang riil ya. Tabungan, cicilan rumah, biaya kehidupan buat enam bulan ke depan, investasi ini itu, dan segala macam hal-hal yang harusnya dipikirkan orang dewasa.

Namun, di sinilah saya, masih berasa young, dumb, broke high school kids.

Bukannya tegar dan kuat layaknya orang dewasa menjalani hidup, malah dikit-dikit menangis atau mengeluh kalau ada kesulitan atau kendala. Terlalu bodoh untuk menyelesaikan masalah-masalah orang dewasa yang tak ada habisnya. Bukannya menabung untuk kehidupan masa depan, malah keseringan main sama teman-teman atau makan di restoran enak. Young dumb broke high school kids.

Gimana rasanya sih jadi orang dewasa?

Segalanya logistik dihitung, tapi hati kosong. Apa enaknya hidup tanpa penuh rasa. Segalanya dihitung, diukur, direncanakan, tanpa memberikan ruang untuk bersenang-senang. Tidak ada spontanitas dan keluwesan saat jalankan hidup. Apa enaknya hidup penuh perhitungan, lalu marah ketika kenyataan tak sejalan dengan harapan?

Barangkali ini fase dimana saya sadar bahwa saya masih menyangkal kalau sudah saatnya menjadi dewasa. Di umur segini, masih mau senang-senang aja. Orang bilang, telat ah. Udah tua masih bocah. Tapi rasanya lelah sekali ya kalau harus hidup dengan standar orang lain hanya untuk membuat orang lain senang. Ketika semua dijalankan dengan apa adanya diri tanpa harus pretensi, kok jadi luwes sekali ya hidup. Yaa, mungkin proses kedewasaan setiap orang itu berbeda-beda dan ngga bisa dipaksakan. Ya ngga sih?

Ngga tau ah.. Pusing mikirin hidup, mari kita dansa!

3 comments

  1. mikirin hidup ga ada abisnya din, bikin pusing. mending diketawain aja haa haa haaaa #ketawamaksa terus nyebur ke laut rasanya segerrrrr

    ReplyDelete
  2. Saya juga tak tahu sejak kapan serius memikirkan hidup masa depan. Kalo tinggal di kota, kayaknya pikiran seperti itu pasti muncul. Tapi, kalo saya lagi dalam hutan, atau bersama masyarakat adat, yang dipikirkan bagaimana hutan tetap awet dan masyarakat adat tetap sejahtera. Tempat di mana kita berada, itulah yang memberi perspektif apa tugas dan makna keberadaan kita. Sayang Stephen Hawking sudah pergi, padahal saya lagi tunggu jawabannya entah Tuhan punya campur tangan dalam penciptaan alam semesta atau tidak? Dangke, Dini. (Stef Tokan)

    ReplyDelete

Search This Blog

Contact Form

Name

Email *

Message *