Pulang?

Pulang?

August 18, 2019


Dua bulan terakhir saya kembali tinggal di Jakarta, setelah hampir dua tahun tinggal di Flagtstaff. Sebuah tempat yang selalu saya anggap sebagai rumah. Sejak dua tahun lalu, saya selalu merasa Flagstaff bukanlah rumah. Flagstaff hanya tempat singgah saja. Tempat saya belajar dan saya pasti akan pulang, ke Jakarta. Seperti lagu saja ya..

Ke Jakarta aku kan kembali..

Kata orang, konsep rumah akan berubah setelah kita pergi merantau. Di tempat rantau, kita melihat dan merasakan kondisi yang berbeda dari biasanya. Kultur baru, orang-orang baru, lokasi baru, semua baru. Pelajaran dari hal-hal baru itulah yang membuat kita berubah, termasuk saya. Buat saya, perubahan itu adalah keniscayaan. Diny yang sekarang, bukan Diny seperti dua tahun lalu. Walau banyak juga sih hal-hal dasar yang masih sama. Di sisi lain, rumah juga berubah. Selama saya tidak di rumah, banyak hal yang terjadi, sehingga konsep rumah pun (mau tidak mau) tidak lagi sama.

Kembali pulang ke rumah, bukan hal yang ringan. Barangkali apa yang saya alami juga banyak dialami oleh orang-orang yang habis merantau. Dua tahun lalu, saya butuh 6 bulan untuk adaptasi belajar tentang perbedaan kultur. Sekarang, tentunya harus belajar lagi untuk menghadapi reversed culture shock.

Buat saya, dua bulan terakhir ini cukup berat. Saya harus kembali beradaptasi dengan ritme kehidupan di Jakarta. Flagstaff adalah kota kecil yang indah. Dekat dengan alam, tidak ada polusi udara, dan tidak ada polusi cahaya yang bikin saya bisa lihat milky way hampir setiap hari, jarak antara rumah dan kampus juga sangat dekat. Tempat yang sempurna untuk belajar. Tempo kehidupan di Flagstaff relatif lambat. Berbeda sekali dengan di Jakarta. Sekarang ini tempo hidup saya terasa cepat sekali dan melelahkan. Bangun dini hari, siap-siap, berangkat ke kantor, penuh sesak di kereta, bekerja hingga sore, penuh sesak di kereta (lagi), lalu sampai rumah sudah tinggal tersisa lelahnya saja. Napas pun sulit akibat polusi yang begitu pekat. Dulu sebelum kuliah, saya juga mengalami ini sih, tapi setelah Flagstaff, kok terasa lebih berat ya hehehe. Namanya juga masa penyesuaian ya?

Polusi Jakarta yang sangat pekat
Kehidupan sebagai pelajar tentunya sangat berbeda dengan kehidupan sebagai pekerja. Waktu sekolah, saya bisa santai belajar seharian tentang topik apapun yang saya inginkan. Sekarang setelah bekerja, saya harus belajar sesuai dengan kebutuhan kantor, walau akhirnya sih jadi belajar keahlian baru juga ya. Apalagi pekerjaan baru saya ini berbeda dari pekerjaan saya sebelum kuliah S2. Dulu saya bekerja di universitas, sekarang di LSM. Hal yang dikerjakan juga berbeda. Saya sih senang-senang saja dengan perubahan ini. Senang bisa belajar skill baru, yang pasti akan terpakai di masa depan. Seru deh.

Perbedaan lainnya yang paling terasa adalah soal makanan Indonesia. Tiga bulan terakhir di Flagstaff, saya sering merasa homesick. Homesick­-nya bukan karena kangen keluarga, karena kangen dengan keluarga bisa diobati dengan telepon. Rasa kangen yang menjadi-jadi itu ya karena kangen makanan Indonesia. Beberapa kali saya murung saking kangennya makan makanan Indonesia. Apalagi di Flagstaff tidak ada restoran Indonesia, yang paling mirip ya paling restoran Thailand. Begitu sampai di Jakarta dan kembali makan makanan Indonesia, semua makanan yang saya makan jadi terasa lebih enak dua kali lipat. Saya benar-benar rindu dengan masakan yang penuh cita rasa rempah Indonesia.

Teman-teman saya yang dari Amerika kurang bisa relatesama homesick karena makanan ini. Kebanyakan mereka sudah terbiasa dari kecil makan masakan seadanya di rumah dan relatif bukan makanan khas. Saya baru sadar kalau makanan itu bagian besar dari kultur saya sebagai orang Indonesia. Kalau selama ini saya take it for granted, sekarang saya lebih menikmati dan bersyukur bisa makan masakan Indonesia tanpa harus masak. Hehe

Banyak hal yang berubah di Jakarta. Sekarang sudah ada MRT, transjakarta sudah punya banyak sekali rutenya, banyak jalan protokol ada trotoar lebar, jembatan penyebrangan lebih mumpuni, dan sebagainya. Walau Jakarta masih macet, masih penuh polusi udara. Saya juga baru sadar kalau Jakarta itu bising sekali. Semua orang jalan cepat, banyak orang murung, orang-orang mudah marah atau reaktif terhadap suatu hal. Ke mana pun saya pergi, hampir semua orang selalu memegang dan menyibukkan diri dengan telepon selular mereka, termasuk saya.

Sore hari di Stasiun Sudirman. Orang-orang berwajah murung bersatu padu di dalam kereta api.
Jakarta dengan segala kesibukannya dan sejuta perubahannya, terasa sangat berbeda dibanding dahulu sebelum saya sekolah. Barangkali juga karena saya yang sudah berubah. Dengan semua perubahan ini, sekarang saya masih berusaha kerasan kembali tinggal di tempat yang saya kira adalah rumah. Entah sampai kapan. Bahkan saya masih tidak tau seperti apa definisi rumah untuk saya saat ini.

Saya tidak tau akan seperti apa perjalanan hidup saya beberapa waktu mendatang. Tapi saya yakin, akan banyak hal baru yang saya pelajari di sini. Hingga mungkin suatu saat nanti, saya bisa merantau lagi lalu belajar banyak hal baru lagi di tempat yang lain.

Selamat menikmati Jakarta.

xoxo,
Diny

Search This Blog

Contact Form

Name

Email *

Message *