Pasca-diagnosa Ablasio Retina (bagian II)

Pasca-diagnosa Ablasio Retina (bagian II)

Oktober 16, 2017
Sepulang dari dokter mata yang mendiagnosa saya kena Albasio Retina, saya lunglai. Deg-degan. Bingung mau ngapain. Di satu sisi ngga berani googling sendiri, di sisi lain penasaran. Saya ngga berani baca kenyataan yang ada. Akhirnya saya hanya bisa kabari suami. Dan sepertinya suami langsung googling sendiri lalu ikutan degdegan. Dia bilang, 'hmm.. kok serem banget. Kamu cepetan pulang ya.'

Makin deg-degan dong yaa.. Emang segitu seramnya apa?

Baca juga: Dokter bilang saya ablasio retina

Sesampainya di rumah, suami langsung memeluk saya. Saya pun memberanikan diri untuk googling tentang Ablasio Retina. Wah ternyata seram beneran. Ablasio retina itu adalah retinanya copot. Apaa?? Copot banget siss? Langsung saya bayangin retina itu ada di mana dan kenapa bisa copot.

Kira-kira bisa dilihat pada gambar di bawah ini. Retina itu bagian saraf mata yang adanya di bagian belakang mata. Lalu retina bisa copot ke bagian dalam seperti yang kelihatan di gambar di bawah. Kalau saya, retina yang copot ada di bagian pojok kanan mata kiri.
Image result for ablatio retinae
Sumber gambar : Mayo Clinic

Sejujurnya, saya ngga inget banget sih kapan si retina ini copot dan kapan mata saya berasa agak aneh. Jadi kalau ditanya penyebabnya, saya juga ngga yakin. Ada kemungkinan karena kejedot waktu di angkot, tapi saya ngga yakin juga. 

Hasil googling mengatakan bahwa, ablasio retina itu segitu parahnya sampai bisa membuat penderitanya buta permanen. Seram yaa. Saya akhirnya nangis juga. Takut. Gimana coba kalau buta permanen. Ngga bisa jadi peneliti lagi. Ngga bisa baca dongeng buat anak saya nanti. 

Beruntung sekali saat itu ada suami yang menenangkan saya. Kita berdua akhirnya segera cari dokter di RSCM Kirana atau JEC. Kata suami, cari dokter yang kira-kira dari pengalamannya keliatan pinter banget. Hehe. Pilihan dokter mengerucut pada dr. Elvioza. Beliau praktik di RSCM Kirana dan JEC, mengajar di UI dan bertanggung jawab untuk residen oftalmologi, direktur vitreoretina, dan pernah training tentang vitroretina dimana-mana. Dokter yang bisa menangani kasus ablasio retina memang harus dokter sub-spesialis vitreoretina. Kalau baca dari pengalamannya dr. Elviz sih keren banget ya kayaknya.

Besok paginya saya langsung buat janji sama dokter Elvioza di JEC. Hasil dari googling dan dikasih tau dokter di RS Bunda, saya sudah tau kalau jalan satu-satunya adalah operasi dengan biaya sekitar belasan juta. Saya sudah siap-siap mental. Beresin dan delegasikan pekerjaan-pekerjaan yang pasti harus saya tinggal selama 2 minggu. Cek ulang apakah asuransi masih bisa cover biaya operasi.

Saat pertama kali ketemu dengan dr. Elvioza, saya ditemani sama suami. Alhamdulillah Pak dokternya baik dan enak jelasinnya. Saya langsung cocok aja sama beliau. Dokter beri tau saya, karena ablasio retina nya sudah lama, jadi operasi pun tidak bisa memperbaiki 100%. Kemungkinan hanya 70%. Kalau ngga dioperasi, ya memang bisa berakhir dengan kebutaan permanen. Mau ngga mau operasi. Pasca operasi saya harus cuti 2 minggu, karena ada prosedur yang harus dijalankan.

Kami langsung menjadwalkan operasi dua hari kemudian. Kalau ngga salah saya pertama kali ke dr. Elviz hari Jumat, lalu operasi di jadwalkan hari Senin pagi jam 6. Operasi yang akan dijalani termasuk kategori operasi besar, yang melibatkan pembiusan total, bantuan pernapasan, dan prosedur yang kompleks. Saya berusaha stay cool, suami juga demikian. Ngga taunya kita sama-sama keliatan tenang karena merasa satu sama lain tenang. Padahal dua-duanya takut. Hahaha. 

Setelah ketemu dengan dr. Elviz, saya juga sudah bisa mulai persiapan operasi seperti rontgen, periksa darah, booking kamar rawat, dan lain-lain. Sayangnya saya ngga bisa operasi di JEC Menteng, karena waktu itu kamar operasinya masih di renovasi. Bisanya di JEC Kedoya. Yasudahlah. 

***
Bersama dia yang bikin saya berani menghadapi apapun, beberapa bulan setelah operasi pertama.
Pasca-operasi, wajah yang pertama kali saya lihat adalah wajah suami saya. Katanya saya kayak bajak laut, matanya ditutup sebelah. Hehe. Mata saya waktu itu belum berasa apa-apa karena masih dalam pembiusan. Beberapa jam kemudian baru deh berasa perih-perihnya. Ditambah lagi, saya harus ditetes obat 6 kali sehari. Kebayang kalau ada luka di tangan atau kulit terus dikasih obat aja rasanya udah sakit banget. Nah ini di mata. Perih cooy.

Pasca operasi saya harus tidur tengkurap, atau bagaimana pun kondisinya supaya kepala bisa menghadap ke bawah 180 derajat. Mau duduk juga boleh, asal kepala menghadap ke bawah. Itu adalah 2 minggu paling menyedihkan dalam hidup saya. Bayangin aja, 23 jam mesti nunduk ke bawah. Hanya bisa ngga menghadap ke bawah kalau mau sholat, mandi, dan makan. Malam ngga bisa tidur. Siang kebosanan ngga bisa ngapa-ngapain. Suami saya siapin audio book dan satu set perlengkapan menggambar, supaya saya ngga kebosanan. Tapi tetep aja. Pedih.

Seminggu dan dua minggu pasca operasi, kami ke dokter lagi untuk memastikan ngga terjadi infeksi atau komplikasi pasca operasi. Kata dokter, alhamdulillah operasi sukses dan retinanya beneran nempel dengan baik lagi. Memang tengkurap pasca operasi ini sangat esensial. Kalau ngga disiplin, percuma matanya dioperasi. Ngga sia-sia deh perjuangan dua minggu kelabu. 

Life is full of surprises!

Belajar tentang Kebakaran di Karyawisata Pertamaku!

Belajar tentang Kebakaran di Karyawisata Pertamaku!

Oktober 14, 2017
Halo halo,

Beberapa minggu lalu saya diajak karyawisata sama dosen pembimbing. Katanya dia mau kasih lihat vegetasi di sini seperti apa dan penelitian-penelitian yang dilakukan di sini tuh kayak apa aja. Kami bertiga: saya, Pak Guru, dan Kat (rekan seperjuangan), pergi ke hutan pinus ponderosa bekas kebakaran. Lokasinya ngga jauh dari kampus, mungkin hanya sekitar 20 menit perjalanan.

Kebakaran memang sudah menjadi hal rutin yang dialami hutan di daerah Barat Daya (Southwest) Amerika . Dulu setiap 5 tahun sekali bisa terjadi kebakaran. Sampai akhirnya tahun 1910-an pemerintah membuat kebijakan untuk menekan laju kebakaran hutan. Ditambah lagi, mulai banyak pemukiman penduduk yang masuk ke kawasan hutan, sehingga kebakaran-kebakaran kecil berhasil dikurangi.

Ternyata eh ternyata, kebakaran yang dulu biasa terjadi selama 5-10 tahun sekali tuh punya dampak besar bagi ekosistem. Kebakaran bisa membersihkan tumbuhan tingkat bawah dan mencegah akumulasi bahan kebakaran di masa mendatang. Frekuensi kebakaran yang berhasil diturunkan oleh pemerintah, ternyata malah membuat kebakaran semakin parah. Karena ngga ada kebakaran kecil lagi, tumbuhan tingkat bawah bisa tumbuh subur dan menjadi bahan bakar yang sangat banyak buat kebakaran di masa mendatang. Jadilah kebakaran yang terjadi jauh lebih besar dan lebih parah dari kebakaran rutin yang dulu terjadi. 


Ini contoh bekas kebakaran yang saya kunjungi. Kebakaran besar terjadi di tahun 2015 dan membuat banyak pohon-pohon mati tak berbekas. Kini sudah kelihatan tumbuhan pionir seperti rerumputan, semak, dan tunas pohon pinus baru. Kalau kebakarannya besar dan sampai menghabiskan kanopi pohon biasanya disebut crown fire. Biasanya kebakaran crown fire tuh bisa bikin hutan tak bersisa. 





















Hutan di sini memang rentan sekali terjadi kebakaran, terutama di musim panas. Curah hujan yang rendah membuat udara, vegetasi, dan tanah menjadi kering dan mudah terbakar. Foto di atas terlihat ada tiga pohon besar yang terbakar puluhan tahun yang lalu. Pada saat itu, angin berhembus kencang sekali dari arah kiri ke kanan. Akhirnya semua pohon jatuhnya ke sisi kanan. Pohon yang sebesar itu pun akhirnya bisa diluluhkan juga oleh api dan angin. Beberapa puluh tahun kemudian, regenerasi pohon pinus yang lebih muda terlihat mulai bermunculan dan mendominasi kawasan.

Nah, gimana sih cara peneliti tau dulu bisa terjadi kebakaran 5-10 tahun sekali? Mereka pakai ilmu kehutanan yang namanya dendrokronologi. Dendrokronologi itu ilmu yang mempelajari lingkar tahun pada pohon dan digunakan untuk melihat kejadian historis di masa lampau. Dari potongan pohon yang sudah mati, kita bisa melihat luka karena kebakaran (fire scar). Terus si luka itu dihitung terjadinya tahun berapa. Seru banget ya ternyata dari lingkar tahun kita bisa melihat sejarah. Saya baru tau tentang beginian!

Kebetulan pembimbing saya, namanya Peter Fule dipanggilnya Pete, ahli di bidang ini. Jadi dia kalau lagi cerita tuh seru banget. Mana ternyata ilmu tentang lingkar tahun ini pertama kali ditemukan di Arizona. Bener-bener pas banget saya berada di pusatnya. Hahaha. Seru!! 


Pohon pinus yang selamat dari kebakaran, melanjutkan hidupnya sampai beratus-ratus tahun kemudian. Saya juga baru tau ternyata pohon pinus di sini walaupun ukurannya ngga terlalu besar tapi umurnya bisa sampai ratusan tahun. Pohon di atas ini misalnya, diameter sekitar 60 cm, kemungkinan umurnya 500 tahunan. Ciri-ciri pinus Ponderosa yang sudah tua bisa dilihat dari kulit kayunya yang berwarna kejinggaan, hanya sedikit warna cokelat-cokelatnya. Wangi kulit kayunya juga khas, seperti wangi vanila. Kita juga bisa lihat dahan bagian bawah banyak yang patah, akibat kebakaran yang pernah dia alami. Untung dia masih bisa melanjutkan hidup dan tumbuh besar ya.

Selain berkunjung ke hutan bekas kebakaran, saya juga berkunjung ke plot permanen tempat eksperimen managemen hutan. Kampus ku, Northern Arizona University (NAU) bekerja sama dengan USDA Forest Services untuk bikin plot permanen ini. Di lokasi yang saya kunjungi, mereka melakukan penelitian dinamika hutan terutama untuk mengurangi kebakaran hutan besar. Ada tiga plot di sini, pertama plot kontrol, kedua plot vegetasi yang sengaja dibikin kebakaran kecil (prescribed fire), dan plot ketiga yaitu tempat mereka melakukan pemangkasan pohon. 

Sebentar, gimana sih kok mencegah kebakaran tapi malah sengaja ngebakar?? Bingung saya! Ternyata mereka tuh sengaja bikin kebakaran permukaan (surface fire), supaya tumbuhan tingkat bawah (si bahan bakar kebakaran) bisa mati. Biar kalaupun ada kebakaran, ngga terlalu heboh atau besar banget gitu lho. Mereka juga melakukan pemangkasan pohon supaya pohon nya ngga terlalu padat. Ternyata kalau pohonnya terlalu padat juga bikin hutannya rentan kena kebakaran.


Kompleks banget masalah kebakaran di sini. Saya jadi inget di Indonesia, kan juga sering kebakaran ya.. Apa ada kebakaran yang emang bagus buat ekosistem di sana ya? Saya ngga tau. Sebelumnya saya belum pernah belajar tentang kebakaran di Indonesia, jadi belum tau banyak. Sejauh ini yang saya tau, kebanyakan kebakaran besar terjadi di hutan gambut karena apinya ada di bawah permukaan. Tapi kan ada juga masyarakat lokal yang melakukan prescribe fire pada ladang berpindah. Apakah ekosistemnya diuntungkan juga ya sama kebakaran itu? Saya ngga tau euuy. Semoga bisa belajar tentang ini ya tahun depan pas balik ke Indonesia.

Saya seneng banget diajak karyawisata privat sama Pak Guru. Bisa belajar langsung dari ahlinya dan dia nyempetin waktu gitu lho buat ngajarin mahasiswa bimbingannya. Kadang-kadang suka lucu, dia suka ngetes saya tau apa ngga dasar-dasar pengetahuan lapangan atau ekologi, atau apapun. Terus kalau saya ngga tau, ya seperti biasa, saya cengar cengir aja hahahaa. Duh maap Pak, saya ngga pinter-pinter amat hehe. Untungnya dia baik ya, bakal jelasin sejelas-jelasnya kalau saya ada yang ngga ngerti. Lain kali kalau mau diajak karyawisata, saya belajar dulu deh biar ngga malu-maluin hahaha.


Ini dia Pak Guru dan rekan seperjuangan. Semoga bisa belajar lebih banyak lagi di sini.

Salam hangat dari Flagstaff!

Cari Blog Ini

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *