Belajar Tentang Belajar

Belajar Tentang Belajar

Desember 31, 2020
Pertengahan tahun ini belajar berenang dan akhirnya bisa berenang sekitar bulan Oktober.

Wow, sudah akhir tahun saja nih. Waktunya membuat ulasan kehidupan setahun terakhir. Tahun 2020, memang luar biasa ya. Ada pandemi yang memengaruhi kehidupan di seluruh dunia. Untuk pertama kalinya dalam kehidupan kita, semua orang sedunia memiliki masalah bersama. Barangkali masa-masa ini akan jadi hal paling menarik dari sejarah kehidupan yang pernah dijalani. Bisa jadi fase ini akan menjadi cerita 'perang' yang akan diceritakan ke anak cucu berkali-kali nantinya, kalau kita bisa selamat dan melalui pandemi.

Kalau bisa dilihat setahun terakhir, hal utama yang saya pelajari sepertinya adalah soal belajar. Bahwa kita bisa mempelajari apapun yang kita inginkan kalau kita mau dan bisa memberikan energi untuk mempelajari hal tersebut. Bahwa ada proses-proses yang harus dilalui supaya bisa menjadi bisa. Kalau kata dokter saya, ini namanya belajar metakognisi. Tentunya, saya masih jauh dari paham maknanya metakognisi itu apa ya haaha.

Tetapi untuk mempelajari suatu hal baru, perlu ada semacam syarat yang harus dipenuhi. Kalau sedang dalam kondisi mental yang stabil dan relatif sehat, belajar apapun akan lebih mudah dijalani prosesnya. Kalau sedang berada dalam kondisi finansial yang stabil, pikiran juga bisa digunakan untuk pengembangan diri. Harus ada modal dasar yang kalau bisa terpenuhi, proses belajar akan bisa lebih berenergi atau mungkin lebih mudah. Dan yang paling penting adalah apakah ada kemauan dan keikhlasan untuk menjalani proses belajar atau tidak.

Setahun terakhir saya mencoba banyak hal baru yang hampir semuanya memiliki pelatih tersendiri. Saya sempat latihan rutin climbing, menari, dan olahraga di gym, serta latihan mengelola emosi dan perasaan di terapi. Pelatih akan sangat membantu dalam mempelajari suatu hal baru. Mereka bisa memberi tau teknik-teknik yang tepat, memberi tahu ketika kita masih salah, dan juga memberikan ekstra energi agar kita bisa belajar lebih cepat. Walau sebenarnya bisa saja sih belajar sendiri, terutama kalau kita sudah memiliki kedisiplinan tinggi terhadap diri sendiri. Namun, biasanya proses belajar sendiri akan lebih panjang dibandingkan kalau memiliki pelatih.

Ketika belajar hal baru, ada fase dimana saya merasa sangat tidak bisa dan ternyata saya kurang nyaman dengan perasaan tidak bisa tersebut. Maunya sekali belajar, langsung bisa gitu lho. Tapi kan ngga mungkin ya, hahaha. 

Nah akhirnya saya mencoba untuk belajar melewati asumsi 'saya tidak bisa' ini. Belajar tidak memberikan penilaian terhadap diri sendiri, karena tidak bisa sesuatu hal. Belajar mempercayai proses diri sendiri, yang tentunya akan berbeda dengan proses orang lain. Belajar melihat pola pembelajaran dan pada akhirnya belajar tentang belajar.

Belajar menari tradisional. Begitu sudah mulai hapal gerakannya, eh pandemi mulai. Sedih sekali.


Dalam prosesnya, kita bisa memilih apakah akan belajar sampai 'bisa' atau mau sampai 'jago'. Saya rasa sih kita ngga perlu jago dalam semua hal. Ada banyak hal yang belajar sampai 'bisa' sudah memuaskan hati dan itu cukup. Apalagi kalau keahlian tersebut tidak terlalu relevan dengan kehidupan sehari-hari ataupun tidak terlalu kita sukai. Misalnya, ketika tahun ini saya belajar pakai make up. Saya berhenti sampai kata 'bisa' saja, karena ternyata saya kurang menikmati proses memakai make up. Sehari-hari saya tidak terlalu sering menggunakan atau merasa perlu menggunakannya. Jadi ya sudah. 

Ada teknik-teknik tertentu yang bisa digunakan untuk mempelajari kebiasaan baru. Dalam buku the Atomic Habit, misalnya, cukup membantu memberikan cara praktikal untuk belajar membiasakan hal baru. Latihan juga sangat penting untuk mempelajari hal baru. Misalnya, kalau mau bisa menulis, ya harus mau latihan rutin menulis. Semuanya perlu latihan. Kalau mau bisa hidup rapi, ya harus belajar langsung rapi-rapi begitu melihat situasi yang berantakan.

Banyak hal bisa dipelajari, kalau mau. Kalau tidak mau pun, tidak masalah. Bisa jadi kemauan belajar itu baru muncul tahun depan atau bulan depan. Ngga ada yang pernah tau sejauh mana seseorang akan belajar suatu hal. Makanya itu, saya ingin sekali lebih bebas dari pikiran menilai suatu hal, diri sendiri, atau orang lain. Kita ngga pernah tau ya apa yang akan terjadi di masa depan. 

Belajar menjahit. Ternyata senang sekali bisa menjahit!

Jadi tahun ini saya belajar apa saja ya.. climbing, menari tradisional, olahraga sendiri di rumah, mengelola dan menjaga kesehatan mental, bekerja dari rumah, mengelola dan merapikan bahan makanan, makan sayur dan buah secara rutin, meditasi, menjahit, berenang, dan banyak hal tentang diri sendiri. Saya juga lumayan memberikan perhatian ke hubungan-hubungan yang saya miliki, baik personal maupun profesional. Saya bangga sekali bisa melewati tahun ini dengan lebih tenang dan mau meluangkan waktu untuk fokus ke diri sendiri. Tahun yang berat, namun buat saya, relatif jauh lebih mudah dibandingkan tahun lalu.

Di akhir tahun ini, saya berdoa sekali supaya saya bisa selalu menjadi pribadi yang senang belajar. Mau melihat suatu hal dari berbagai sisi. Mau menjalani proses yang berat agar bisa menjadi sesuatu untuk masa kini atau masa depan. Semoga tahun depan bisa lebih baik, tapi kalau tidak lebih baik, semoga saya bisa belajar dari segala prosesnya.


xoxo,

Diny

Buah Tangan dari Sesi Terapi

Buah Tangan dari Sesi Terapi

Desember 26, 2020

Menyambung cerita sebelumnya tentang perjalanan kesehatan kejiwaan yang saya lalui, kali ini saya akan berbagi tentang beberapa alat atau cara yang cukup berguna buat saya. 

Saya pernah berbagi soal ini, misalnya di post yang berjudul Things that Keeps Me Sane. Kalau dilihat-lihat dengan kacamata sekarang, beberapa hal dalam daftar tersebut cenderung saya gunakan untuk melarikan diri dari kenyataan. Waktu itu saya membuat daftarnya sendiri, tanpa bimbingan dokter jadi yaa.. gitu deh. 

Saya ngga tau apakah cara-cara ini bisa berguna atau ngga buat orang lain. Saya diajarkan teknik ini oleh dokter secara bertahap dan sesuai dengan kemajuan saya pada saat sesi terapi. Saya juga bukan dokter, konsuler, atau terapis. Cara yang saya tuliskan di bawah ini adalah cara-cara yang berguna buat saya, berdasarkan intepretasi saya dari sesi terapi dan dari berbagai sumber lainnya seperti buku, podcast, diskusi, dan lain-lain. Bisa saja saya salah mengintrepretasikan cara ini, jadi keep in mind that it may not scientifically proven

Saya yakin sekali kalau yang kayak gini-gini itu memang ngga bisa belajar dalam waktu singkat. Harus terus-menerus dilatih. Mungkin ngga akan pernah masuk ke kata 'jago'. Penting untuk menjadi proses belajar seumur hidup. Apapun masalahnya, kita bisa menggunakan cara ini sebagai tools untuk menghadapinya, or maybe not but we can at least give it a try.

Cara-cara ini juga sudah saya gunakan setahun terakhir. Namun, baru di bulan November, sesi terakhir dengan dokter, akhirnya saya mengerti apa maksud dokternya. Sesi itu bisa jadi adalah "aha! moment" saya. Yaitu saat dimana semua yang selama ini dipelajari di sesi terapi bersatu dan terkoneksi menjadi pengetahuan komprehensif. Entah kenapa saya jadi langsung merasa berdaya, kayak "OH MAKSUDNYA GINI TOH" (mesti di capslock).

Me trying to figure out adult life.

Poin-poin ini dibuat bukan berdasarkan urutan tertentu. Semua bisa dilakukan perlahan-lahan atau berbarengan.

1. Menulis sebagai alat meditasi

Saya sudah menggunakan cara menulis untuk menceritakan apa yang terjadi dalam kehidupan saya, barang kali sejak SMP. Biasanya saya menggunakan teknik menulis sebagai tempat sampah. Dulu, saya terbiasa menulis apa yang terjadi dalam kehidupan A-Z dan penilaian saya terhadap situasi tersebut. Menulis bisa membantu saya memindahkan apa yang ada di pikiran, sehingga kepala saya terasa lebih ringan.

Namun, kalau mau naik tingkat, kalau mau mendaur ulang 'sampah-sampah' itu menjadi sesuatu yang bermakna, menulis bisa dijadikan terapi. Caranya adalah dengan melakukan assessment terhadap emosi yang saya punya. Misalnya dengan memakai kata 'saya merasa..', 'saya percaya..', 'saya yakin..' dan lainnya yang berawal dengan kata 'saya'. How do I feel about things that happened in my life?

Teknik ini bisa melatih diri kita untuk fokus sama diri sendiri sehingga tidak menyalahkan, tidak memberi penilaian buruk/baik, dan tidak fokus pada hal-hal yang di luar kontrol, seperti orang lain atau keadaan. Teknik ini juga dipelajari di buku Nonviolent Communication yang jadi panduan saya untuk belajar teknik-teknik tersebut. Dengan metode ini, kita bisa belajar menjadi subjek dalam kehidupan yang kita jalani. Bukan hanya sebagai penonton atau korban.

Menulis adalah salah satu cara saya mengenal diri sendiri.


2. Mengubah familiarity/kebiasaan

Pengalaman yang kita miliki telah mengajarkan kita berulang kali dan terus-menerus. Dampaknya adalah kita sudah membangun refleks tertentu ketika menghadapi pengalaman tertentu. Something that is familiar to us. Sayangnya, dalam perjalanan kehidupan, berbagai hal bisa berubah. Respon yang kita miliki terhadap situasi yang sama, juga mesti ikut berubah. Atau bisa jadi, respon yang kita miliki selama ini bukan respon yang relatif sehat dan kita mau mengubahnya.

Gimana caranya supaya bisa membiasakan diri dengan kebiasaan yang baru?

  • Sadar. Sadar dengan apa yang terjadi.
  • Komitmen. Apakah kita rela dengan perubahan yang mau dibuat? Kalau belum rela, ya sudah ngga papa, nanti lanjut ke tahap berikutnya kalau sudah siap. Kalau sudah rela..
  • Kenali. Kenali situasi, perasaan, kenyataan, dan pilihan-pilihan yang muncul. 
  • Buat keputusan. Dari berbagai opsi respon yang bisa kita ambil, pilih salah satu. 
  • Memposisikan diri. Lihat apakah kita bisa memposisikan diri menuju versi baru sebagai respon dari suatu kondisi yang familiar.
Teman saya bilang, ini mirip dengan Practice the Pause. Kalau menurut saya, kita bisa melakukan ini kalau sudah terbiasa dengan belajar self-awareness. Pause tanpa self awareness juga ngga akan jadi apa-apa.

3. Latihan

Latihan, latihan, latihan. Karena ini adalah sesuatu yang ngga familiar. Kita ngga terbiasa dengan kondisi tersebut. Kita mungkin belum tau reaksi seperti apa yang pas dan relatif sehat. Oleh karena itu, penting untuk bisa sadar dengan apa yang kita rasakan, pikirkan, dan pilihan yang akan kita ambil. Penting untuk bisa sadar dan hadir untuk diri kita sendiri.

4. Menggunakan realisasi

Sering kali saya punya pertanyaan-pertanyaan yang saya ngga tau jawabannya apa. Misalnya, kok A melakukan B ya?. Dalam mengatasi hal tersebut, biasanya, saya sering mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sendiri. Mencoba membuat semuanya menjadi rasional. Oh, mungkin si A melakukan B karena dia merasa C. Inilah yang namanya realisasi.

Realisasi berarti berusaha membuat semuanya rasional, riil, dan punya jawaban. Realisasi ini bisa kelihatan seperti bentuk mengatasi masalah yang sehat, padahal belum tentu. Memang realisasi ini sudah naik tingkat dari level menyalahkan/blaming. Tapi, kalau mau naik tingkat lagi.. We can take a look at this in more detail.

Kita belum tentu akan punya jawaban yang benar. Belum tentu kita akan mendapatkan closure yang kita harapkan. Kalaupun kita tanyakan ke orang yang bersangkutan (kasus si A), belum tentu A juga tau alasannya, atau kalaupun dia tau, belum tentu dia mau menjelaskan ke kita. Kalau pun A mau menjelaskan ke kita, belum tentu kita mengerti. Semuanya serba tidak pasti. Bagi orang yang suka mempertanyakan sesuatu dan suka mencari jawaban, seperti saya, ini hal yang berat. I tend to want to know the answer.

Ketika terjebak dalam realisasi, kita sebagai manusia sering juga terjebak dalam confirmation bias. Confirmation bias artinya mengintrepretasikan sesuatu berdasarkan hal yang kita yakini, yang tentu saja belum tentu benar. Sering kali kita memilih salah satu jawaban yang kita yakini kebenarannya walau dengan informasi yang tidak penuh. Padahal jawaban tersebut hanya mentok di kata 'mungkin', hanyalah sebuah kemungkinan. Bisa benar bisa juga tidak. Makanya kita mesti lebih hati-hati dalam hal ini.

Untungnya, kita bisa menggunakan realisasi ke tingkat yang lebih sehat. Kita bisa menggunakan realisasi untuk membuat berbagai opsi jawaban. Contohnya, bisa saja A melakukan B karena C, D, E, atau F. Lalu, kita bisa membiarkannya begitu saja. Kita tidak perlu memilih apakah yang benar adalah C, D, E, atau F. Kita bisa meyakini bahwa ada berbagai opsi jawaban dan it is okay to not have an answer.

Ingat, ngga ada orang yang bisa kita kontrol selain diri kita sendiri.

Life is a series of open ended questions.


5. Mengobservasi tanpa memberikan penilaian

Mengobservasi yang bebas interpretasi, tanpa nilai, tanpa kata "seharusnya". Jujur, ini saya masih ngga terlalu mengerti gimana caranya. Walau pembahasan ini ada juga di buku Nonviolent Communication, tapi saya masih belum paham benar gimana cara praktikal di kehidupan nyata. 

Intinya sih kita bisa melatih diri kita untuk melihat sesuatu tanpa interprestasi menggunakan nilai yang kita miliki. Kita punya latar belakang yang berbeda, luka masa lalu yang berbeda, mungkin budaya, agama, atau apapun yang buat kita penting, belum tentu itu penting buat orang lain. We don’t have to judge them for being different than us. Easier said than done. Yup!

Melihat perbedaan nilai ini kayaknya mesti dibarengi dengan (balik lagi) self awareness dan mungkin juga boundaries. Yang orang lain lakukan, tidak berarti akan mendefinisikan diri kita. Saya dan orang lain adalah dua individu yang berbeda. It is okay to agree to disagree. Apalagi kalau terkait nilai penting yang kita anut ya. 

Tapi ini susah banget dilakukan ke orang-orang terdekat kita. Barangkali kita secara tidak sadar sudah menanamkan harapan atau asumsi tertentu ke orang terdekat, sehingga ketika mereka ternyata memiliki nilai dasar yang berbeda dengan kita atau memberi respon yang tidak diharapkan, tentunya kita bisa merasa kecewa. Ketika kekecewaan ini tidak diolah lebih lanjut dan ditambah dengan penilaian-penilaian yang kita berikan ke orang tersebut maka kekecewaan ini bisa berubah menjadi sakit hati atau resentment

6. Mengelola preoccupied mind 

Preoccupied mind mungkin bisa dijelaskan sebagai pikiran yang terisi dengan suatu hal atau seseorang yang dianggap penting. Preoccupied mind saya selalu tentang sesuatu yang saya anggap sebagai segalanya. Ketika saya kehilangan hal yang saya anggap sebagai 'segalanya', lalu siapakah saya di luar dari itu semua?

Oleh karena preoccupied mind ini, saya jadi semacam terobsesi, barangkali. Terobsesi dengan pikiran-pikiran ini. Pikiran tentang masa lalu. Padahal, pikiran ini mungkin tidak memberikan dampak besar lagi terhadap kehidupan yang saya punya sekarang. 

Untuk keluar dari preoccupied mind, kita bisa menghitung berapa persen hal yang kita pikirkan akan berdampak pada kehidupan masa kini. Lagi-lagi harus balik ke self-awareness. Kadang kita perlu lihat bagaimana cara kita menghabiskan energi yang kita miliki? Apakah energi tersebut kita habiskan untuk sesuatu yang punya dampak terhadap kehidupan saat ini dan masa depan?

Nah, setelah evaluasi hal tersebut, kita bisa memindahkan penggunaan energi, untuk hal-hal yang masih relevan dengan kehidupan kita sekarang.

Saya rasa, meditasi juga akan membantu untuk keluar dari preoccupied mind. Meditasi bisa melatih diri kita untuk hadir dalam situasi saat ini. Untungnya sekarang sudah banyak ya latihan meditasi secara online, jadi bisa latihan di rumah saja.

__

Saya rasa 6 poin itu adalah poin-poin besar yang bisa saya rangkum dari sesi terakhir terapi yang saya jalani. Ada satu poin lain yang akan saya ceritakan dalam cerita berikutnya. Juga ada beberapa poin yang terlalu personal untuk dibagikan. Kelihatannya seperti banyak teori ya. Banyak istilah. Entah kenapa, ketika sesuatu itu punya nama, rasanya saya jadi punya kuasa akan hal tersebut.

Misalnya setelah saya tau tentang realisasi dan sadar bahwa saya sering menggunakannya, saya jadi semacam punya kendali atas diri. Seperti bisa bicara dengan diri sendiri, "Hey, kamu lagi realisasi nih. Ayo coba bikin realisasi ini keluar sebagai bentuk yang lebih sehat".

Melalui terapi, saya juga jadi lebih sadar tentang kejadian di masa lalu yang memengaruhi cara saya bereaksi atas suatu hal atau cara saya mengambil keputusan. Saya ingin sekali bisa menjadi orang yang bereaksi terhadap suatu hal atas dasar cinta, bukan atas dasar luka.

Ini meskipun sudah tau sedikit tentang ini semua dan sudah menjalani terapi, saya yakin masih banyak yang saya belum paham. Poin-poin di atas aja saya belum handal menggunakannya. Bahkan bisa dibilang proses ini baru saja dimulai. 

Kalau ada kesempatan seperti punya waktu, uang, dan energi untuk bisa terapi, saya sangat merekomendasikan terapi sebagai salah satu investasi yang bisa kita berikan ke diri sendiri dan juga ke orang-orang terdekat kita. Kalau kesempatan itu belum ada, ngga papa, kita ngga pernah sendirian kok. Pasti ada jalan untuk belajar ini dan pasti ada orang yang sungguh peduli dengan diri kita. We have to find them and be that person for people we love.

Lagi-lagi, mohon maaf tulisannya campur Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Pikiran saya masih belum bisa full Bahasa Indonesia atau full Bahasa Inggris. Hehe. Semoga bermanfaat.


Salam sayang,

Diny

Menyerah dan Kembali Bernapas

Menyerah dan Kembali Bernapas

Desember 25, 2020

Saya sudah menjalani psikoterapi on/off sekitar satu setengah tahun terakhir. On/off artinya saya datang kalau butuh saja, tidak ada jadwal rutin. Saya belajar banyak sekali dari proses ini, yang mungkin bisa bermanfaat buat pembaca sekalian.

Trigger warning: tulisan ini dapat memicu emosi pembaca karena mengandung tulisan eksplisit, depresif, suicidal, dan penyakit kejiwaan. 

Barangkali seperti ini rasanya waktu itu. Ngga jelas jalan di depan tetapi saya yakin kalau ada jalannya.

Pertemuan pertama dengan konsuler

Jujur, waktu pertama kali cari bantuan profesional, rasanya saya malu sekali. Waktu itu, saya selalu merasa masalah yang saya alami tidak terlalu besar. Saya juga merasa masih cukup kuat untuk menghadapinya. Saya malu karena merasa butuh bantuan profesional. Kok seperti lemah sekali ya? Kok ngga bisa mengatasi sendiri? Kok cerita dengan orang-orang terpercaya tetap terasa kurang? Banyak pikiran-pikiran sejenis itu yang lewat di kepala saya waktu itu.

Namun, saat itu orang-orang terdekat saya, memberikan dukungan yang sangat berarti. Mereka bantu memeriksa apakah saya beneran sudah daftar atau buat janji ke terapis, atau saya akhirnya mundur lagi. Langkah awal yang cukup berat. Saya tidak punya contoh teman atau orang terdekat yang sedang rutin pergi ke terapis. Ditambah lagi, pergi ke bantuan profesional terasa seperti memvalidasi bahwa masalah saya sudah di ujung tanduk dan saya tidak suka dengan kenyataan itu.

Setelah maju mundur, akhirnya saya tetap lanjut daftar, buat janji dengan konsuler, dan datang ke sesinya. Pertemuan pertama dan kedua rasanya ngga ada pengaruh apa-apa. Sesi satu jam isinya cuma cerita sambil menangis. Mana ceritanya pakai bahasa inggris lagi kan, rada ribet. Waktu itu masih kuliah di luar negeri soalnya, konselornya orang US semua (ya iyalah haha). 

Karena waktu itu cuma cerita sambil nangis jadinya ngga menyelesaikan apa-apa dan ngga ada kemajuan yang berarti. Ditambah lagi, selama masa perkuliahan, target utama saya adalah bisa lulus. Oleh karena itu, saya sebisa mungkin menghindari memproses permasalahan mental yang saya yakin akan membutuhkan banyak energi. Saya tidak punya kapasitas itu pada saat itu. Akhirnya saya selalu menghindar dari masalah atau emosi yang saya rasakan.

Keinginan mengakhiri kehidupan

Habis pulang ke Indonesia, saya beberapa kali kembali mengalami anxiety attack, terutama saat ada trigger-trigger besar. Anxiety attack itu bentuknya seperti napas cepat, keringetan, jantung berdebar sangat cepat, pusing, badan gemetar, sulit napas, dan lama-lama kesemutan atau keram.

Trigger-trigger kecil rasanya juga luar biasa. Eh, ngga tau ya, kayaknya seluruh Jakarta adalah trigger besar deh. Hahaha pusing deh. Lihat kereta, lihat perpustakaan, kemeja, boneka, hewan tertentu, sudut tertentu di tempat tertentu, berbagai jenis makanan, bau tertentu, sampai lihat hot chocolate, semuanya jadi pemicu. Ada beberapa kata tertentu yang kalau terdengar di momen apapun, rasanya punya efek yang besar sekali.

Ketika melihat, merasakan, atau mengalami pemicu tersebut, rasanya jantung saya berdebar-debar, napas lebih cepat, badan dari ujung kaki hingga kepala rasanya panas. Bisa dibilang overwhelm atau distress, tapi ngga selalu berakhir dengan anxiety attack. Dan ini frekuensinya cukup sering karena seluruh sudut Jakarta adalah trigger. Hahaha. Kasihan sih kalau ingat Diny di masa-masa itu.

Saya akhirnya benar-benar niat mau ke psikolog atau psikiater. Terutama setelah saya sudah suicidal atau berpikir, mempertimbangkan dan merencanakan kematian. Sebelumnya sudah sering sih mikir begitu, tapi sebelumnya belum pernah benar-benar memikirkan cara mengakhiri kehidupan. Sampai pada suatu hari, ada trigger besar dan saya langsung mikir 'This is it, I cannot handle this. It is too painful'. Waktu saya sudah mikir mau pegang pisau untuk bunuh diri. Setelah mengalami itu, saya benar-benar yakin kalau saya butuh bantuan profesional.

Waktu itu rasanya gimana ya.. Saya ngga punya lagi alasan untuk hidup atau bangun tidur setiap harinya. Seluruh badan rasanya sakit dan sepertinya lebih mudah mengakhiri kehidupan daripada menjalaninya. Satu-satunya yang membuat saya belum bunuh diri adalah pikiran soal keluarga. Mereka pasti akan sedih, depresi, atau merasa bersalah dengan keputusan pribadi saya itu.

Jakarta dan segala pemicu di dalamnya.
Menyerah

Di masa-masa itu, saya menyerah lalu memutuskan untuk mencari bantuan profesional. Saya daftar ke 6 lembaga bantuan psikiater atau psikolog. Akhirnya ada 2 yang saya datangi yaitu dua lembaga yang kebetulan punya jadwal terdekat. Satu psikolog dan satu psikiater. Dalam perjalannya, ternyata saya lebih cocok dengan psikiater yang saya kunjungi daripada dengan psikolog. Ini persoalan selera atau kecocokan saja, sepertinya.

Sesi bersama psikiater sangat membantu saya memproses apa yang saya alami dan rasakan. I was clueless and didn't understand what was just happened in my life. Pada sesi-sesi awal ini, fokus dari terapi bukan untuk mengobati tapi lebih ke membantu memahami apa yang sedang terjadi.

Ternyata pikiran suicidal itu relatif umum karena banyak orang yang mengalaminya. Tentu saja kondisi ini harus segera ditangani agar tidak berlarut-larut. Lalu, meskipun rasanya dunia sudah runtuh dan saya sudah yakin kalau saya ini sedang depresi, ternyata saya tidak depresi. Waktu itu dokter mengatakan, kalau dalam bahasa inggris ada depressed dan depression. Nah, saya lebih ke depressed dibandingkan depression. Ini benar-benar membuat saya yakin kalau kita ngga bisa tuh mendiagnosa diri sendiri. Meski kalau pun saya mengidap depression, saya yakin saya berada dalam jalur yang tepat dengan membantu diri sendiri melalui bantuan profesional.

Bernapas

Proses terapi yang saya jalani pada akhirnya menjadi semacam life changing process, yang sangat saya syukuri. Saya beberapa kali berbagi cerita dengan teman-teman maupun di media sosial. Buat saya, pergi terapi adalah investasi yang sangat berharga. Saya belajar tentang diri saya sendiri, tentang masa lalu, tentang teknik-teknik praktikal yang bisa digunakan sehari-hari. 

Cerita ini bukan bermaksud untuk glorifying atau memuliakan kejadian di masa lalu atau penyakit kejiwaan yang saya alami. Tulisan ini saya tujukan buat teman-teman yang mungkin sedang mengalami masa-masa sulit saat ini. Kamu tidak sendirian. Everybody is just as lost and scared as you are. There's always a way to find the light, you just have to keep swimming. Keep believe in yourself that it all bearable and this too shall pass.

Saya bisa menuliskan ini, tentunya karena saya sudah tidak berada pada situasi yang berbahaya secara kejiwaan. Tulisan ini juga bukan bermaksud untuk menyudutkan atau menyalahkan pihak tertentu, karena memang ngga ada yang salah. Ini bagian dari proses kehidupan saya, yang mau ngga mau harus dilewatin. Situasi mental yang berat seperti ini juga bisa dialami oleh siapapun dan disebabkan oleh berbagai kondisi, tapi saya selalu berharap hal ini ngga terjadi di kehidupan kamu. Semoga belajar dari kehidupan orang lain bisa menjadi ruang tumbuh agar kita semua bisa menjadi manusia yang lebih baik.  

Pada blog post berikutnya, saya akan cerita beberapa tools atau pelajaran yang saya pelajari dari proses psikoterapi yang saya jalani. 

Terima kasih sudah mampir. Semoga bermanfaat dan tetap semangat!


with love,

Diny

Cari Blog Ini

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *