travel

Jalan Pagi di Fort Canning Park

Halooooo..

Sebelumnya, terima kasih banyak untuk para pembaca yang suka mampir ke blog aku dan baca cerita-cerita ku. Aku senang sekali dapat pesan dan info kalau tulisanku ada yang baca hehe. Terima kasih sudah mampir dan baca yaa!

Aku mau cerita jalan-jalan lagii.. Kali ini aku cerita perjalanan saat aku main ke Singapura awal tahun 2023. Aku main ke Singapura selama empat hari tiga malam. Tujuan utamanya, aku mau pertama kali nonton nonton konser. Tujuan lainnya, aku ingin jalan-jalan ke taman-taman yang ada di Singapura.


Cerita kali ini adalah cerita dari taman yang paling aku suka yaitu taman Fort Canning. Aku ke sana di hari terakhir perjalanan ke Singapura. Nah.. Aku tau tempatnya sebenarnya dari temanku yang juga main ke sana bareng aku. Tapi akhirnya temanku ngga jadi mau ikut ke taman, dia mau belanja oleh-oleh saja. Ya sudah aku pergi sendiri saja..

Taman Fort Canning terletak di perbukitan yang dulunya adalah tempat pertahanan Singapura. Dari sinilah Kerajaan Melayu dan tentara Inggris memimpin pulau Singapura, mempertahankannya dari serangan penjajah Jepang. Di taman ini, kita bisa melihat banyak artefak dan tempat historis, seperti meriam, gerbang benteng, bunker, gedung barak, dan lain sebagainya. Sekarang, taman seluas 19 hektar ini bisa dinikmati warga lokal dan turis secara gratis, serta menjadi salah satu lokasi historis di Singapura.

Saat aku ke Taman Fort Canning, aku melihat banyak warga lokal memanfaatkan taman untuk olahraga. Ada yang lari, ada orang tua dan lansia yang olahraga dalam grup, juga keluarga dan anak-anak berlarian di taman. Banyak pula turis-turis yang main ke sana.

Aku ke taman ini pagi-pagi sekali, berangkat dari hotel sekitar jam 6. Aku jalan kaki dari hotel soalnya hotel tempat ku menginap relatif dekat dari taman Fort Canning, hanya 20 menit jalan kaki.

Begitu sampai, aku langsung menuju spot foto yang sangat terkenal yang disebut The Fort Canning Tree Tunnel. Di sini, kita bisa berfoto di tangga dengan pemandangan pohon dan langit biru. Dari bawah, kita bisa lihat pohon trembesi yang sudah tumbuh menjulang rindang.


Pohon trembesi sebenarnya berasal dari Amerika Selatan. Namun, pohon trembesi sering digunakan untuk penghijauan di taman-taman kota. Pohon trembesi memang mudah tumbuh, pohonnya bisa mencapai ketinggian 30 meter. Kanopi pohonnya khas melebar, yang cocok memberikan kerindangan di taman atau di pinggir jalan.

Pohon trembesi termasuk pohon kacang-kacangan. Daunnya khas, daun kecil-kecil yang akan membuka di pagi dan siang hari, lalu menutup di malam hari. Kalau daunnya sudah menguning, daun-daun kecilnya akan berguguran. Mungkin karena itulah pohon trembesi juga sering disebut sebagai pohon hujan (kihujan; rain tree).


Pagi itu, taman masih terlihat relatif sepi. Namun ternyata, spot foto yang terkenal ini sudah banyak peminatnya. Sudah ada antrian untuk berfoto di tempat yang cantik. Oleh karena aku perginya sendirian, jadi malas ikut mengantri. Aku hanya foto tempatnya dan jalur masuknya yang juga cantik.

Setelah foto-foto di Fort Canning Tree Tunnel, aku mulai keliling taman.

Menurut ku, taman ini cantik sekali. Kombinasi antara wisata sejarah dan wisata alam. Banyak pohon-pohonan yang sudah rindang, lumut dan paku pun banyak tersebar di seluruh sisi. Di sana ada taman tematik seperti taman rempah dan lain-lain.

Kalau aku, paling suka lihat Hotel Fort Canning. Gedung yang dulunya kantor administrasi tentara Inggris, kini telah menjadi hotel butik yang cukup mewah. Gedungnya gagah dengan warna putih yang kontras dengan dedaunan di sekitarnya. Ciri khas gedung lama di Singapura.



Selain itu, aku suka Fort Gate atau pintu benteng. Pintu benteng ini dikelilingi oleh pohon-pohon yang tinggi. Aku suka sekali lihatnya.



Selain itu, ada juga kuburan lama. Kuburan ini adalah kuburan kristen pertama yang mulai digunakan tahun 1820an.


Buat ku, taman rapi yang rindang dan bersih seperti ini sangat menarik untuk istirahat dari hiruk pikuk perkotaan. Semoga di Jakarta makin banyak taman rindang yang bisa kita nikmati bersama.

Demikian cerita ku hari ini. Sampai jumpa besok!


Diny

Glamping di Situ Gunung

Halooooo! Hari ke-delapan 30 Hari Bercerita. Aku baru mulai nulis jam 8 malam ehehehee.

Aku hari ini mau cerita perjalanan ke Situ Gunung, Jawa Barat!


Menurut aku, Situ Gunung tuh relatif enak banget deh. Ngga terlalu jauh dari Jakarta. Kalau mau naik angkutan umum masih memungkinkan, karena ada kereta dari Stasiun Paledang, Bogor sampai Stasiun Cisaat. Dari situ bisa naik gocar atau ojek.

Kalau aku waktu itu naik motor dari rumah ku hahahahha nekaaad. Dari rumahku, kami menuju Bogor dulu untuk sarapan. Kami mampir sarapan di Kedai Kita, tempat makan favorit ku di Bogor, soalnya bisa makan bakmie trus makan pizza enak.

Dari Bogor kami menuju Situ Gunung, kayaknya perjalanan 3 jam an deh. Ya Allah punggung aku berasa banget sih pegelnya.. Untungnya aku lagi ngga rewel wkwkwkwk. Di Situ Gunung, kami menginap di Tanakita, tempat glamping yang dekat banget dengan pintu masuk Situ Gunung.

Sampai di Tanakita sekitar jam 2 siang, lalu ngga lama tim Tanakita menyiapkan makan siang mewah. Banyak banget porsinya dan semua enak. Sampai bingung ngabisinnya. 

Makan siang di Tanakita

Tenda di Tanakita bisa untuk 3 orang.

Selepas makan, kami istirahat sebentar di tenda. Lalu pergi ke Danau Situ Gunung. Di tengah Danau Situ Gunung ini ada kafe yang menyiapkan beanbag. Kami duduk di situ sambil lihat pemandangan. Saking cuaca enak dingin, angin sepoy-sepoy, dan kami lelah, kami ngga sengaja terlelap doong di situ ada kali sekitar 1 jam. Kebangun saat ada pengunjung lain yang lewat hahahha lawak banget ya ampun.

Dari danau ini pemandangannya hutan damar, mirip-mirip kayak hutan pinus.. Damar ini pasti ditanam, soalnya pohon damar kan aslinya ada di Sulawesi dan Maluku. Kita juga bisa lihat di sana pohon damar rapi berjejer, seperti pola tanam. Kalau ku baca-baca, pohon damar di sana ditanam sekitar tahun 1940an oleh Perhutani. Pohon damar memang cukup umum ditanam di daerah Jawa Barat. Kalau kamu ke Bandung, kamu juga bisa lihat pohon damar di mana-mana. Mungkin dulu banyak ditanam sama Belanda kali ya?

Pemandangan dari Danau Situ Gunung

Kawasan Situ Gunung itu adalah bagian dari zona pemanfaatan Taman Nasional Gunung Pangrango. Kita masih bisa lihat beberapa primata, tapi yang paling sering adalah lutung jawa.

Habis dari Danau Situ Gunung, kami balik ke Tanakita. Mandi dan makan malam. Makan malamnya enak banget, model prasmanan dan Tanakita pun telah menyiapkan live music serta api unggun. Padahal waktu itu pengunjungnya sepertinya cuma 3-4 grup deh.

Habis makan, kami diajak tim Tanakita untuk eksplorasi malam, mencari kunang-kunang dan jamur glow in the dark. Eksplorasi ini deket aja dari tenda, mungkin jalan kaki hanya sekitar 10 menitan. Aku senang sekali bisa lihat dan pegang kunang-kunang. Aku ngga tau nginap di Tanakita ada bonus eksplorasi malam gini, seru banget hahaha. 

Tidur malam di tenda Tanakita tuh enak banget ya. Sudah ada kasur, seprai, sleeping bag, lampu, dan colokan listrik. Di depan tenda ada teras kecil dan jemuran. Aku tidur pules banget hahaha. Udara juga ngga terlalu dingin, tapi juga ngga panas.

Situasi di Tanakita

Paginya, kami lekas-lekas sarapan lalu pergi ke jembatan Situ Gunung. Loket pembelian tiketnya ada di arah danau. Mereka menawarkan 3 paket, jauh, sedang, dan dekat. kalau ga salah per orang 150,000 sudah termasuk ojek, untuk perjalanan yang menengah. 

Aku rekomendasikan banget ke sana pagi-pagi banget biar ngga terlalu ramai. Kami sampai di jembatan sekitar jam 8 dan masih bagus banget mataharinya. Ngga terlalu ramai juga. Kabarnya jembatan ini termasuk yang terpanjang di Asia Tenggara. Dari jembatan, kita bisa melihat hutan hujan tropis. Kalau ku lihat sih sebagian besar sudah berbentuk hutan kebun ya, campuran antara damar, puspa, dan rasamala.

Hutan hujan tropis

Setelah lewatin jembatan pertama aku sempet ngobrol-ngobrol sama bapak petugas di sana. Dia cerita tentang pohon puspa yang sedang berbunga. Dia juga kasih tau aku jenis-jenis pohon yang ada di sana. Aku selalu senang sekali deh bagian ngobrol-ngobrol kayak gini.

Trekking di Situ Gunung sudah enak bangeet. Jalurnya rapi, ada pos-pos warung atau restauran, bahkan ada suling dan musik sunda juga di jalur setapaknya. Buat jalan-jalan bareng keluarga cocok banget deh.

Suasana trekking di Situ Gunung.

Tempat main di sungai!

Habis dari jembatan, kami menuju Curug Sawer. Aku tentu saja main air, mandi di sungai yang airnya dingin dan jernih. Benar-benar menyegarkan!

Selepas main air, kami kembali ke Tanakita. Kami lewat jalan setapak dan jembatan gantung merah. Jembatan yang ini lebih pendek dibandingkan dengan jembatan pertama tadi.

Jembatan merah yang lebih pendek tapi pemandangannya oke banget

Aku waktu itu balik ke Tanakita sekitar jam 1.30 siang. Kami langsung bebersih, packing, dan makan siang. Namuuun.. Sebelum pulang kami ketemu sama owner Tanakita dan ngobrol-brol-brol.. Dari yang tadinya mau balik jam 2, malahan balik jam 4 wkwkwkwkwk.

Sampai Jakarta sudah malam dan letih, tapi aku tidak rewel dong! Hahahaa pinter!

Baiklah, sekian cerita ku hari ini. Mohon maaf ngga banyak riset tambahannya dan ceritanya ngebut. Mungkin di lain kesempatan aku edit ulang dengan tambahkan info-info baru. Tapi ngga usah janji-janji palsu gini deh Din. Ini aja udah bagus. Wakakakaka (malah ngomong sendiri).


Sampai jumpa besok!
Diny

Wae Rebo yang Syahdu

Haaii..

Pagi ini Jakarta hujan rintik-rintik.. Rasanya enak sekali tidur-tiduran di kasur. Namun aku harus ke kantor karena kemarin laptop ku tinggal di kantor hehehe.

Aku hari ini mau lanjutin cerita jalan-jalan ke Wae Rebo. 


Aku ke sana sama dua temanku. Satu, sebagai lulusan antropologi, dia sudah ingin sekali ke sana sejak jaman kuliah. Kabarnya, pergi ke Wae Rebo itu semacam 'pergi haji'nya anak antrop. Apa iya?

Temanku yang satu lagi, semangat pergi ke sana karena mumpung ada temannya. Dia sudah sering pergi melanglang buana di Indonesia. Sekarang, agak susah dapat teman jalan bareng, makanya dia senang aku dan temanku mau ikutan ke Wae Rebo.


Perjalanan dari Labuan Bajo ke desa terdekat Wae Rebo sekitar 4 jam. Kami ke sana dengan sewa mobil dengan supir yang handal. Jalanannya sih sebagian besar sudah bagus, tetapi ada bagian jalan yang sudah ambrol. Hampir sepanjang jalan, ngga ada lampunya, kecuali dari rumah-rumah yang cukup jauh jaraknya.

Sempat ada bagian jalan yang ambrol. Itu jalanan di atas sungai kecil. Sebelah kanannya pantai. Artinya jalanannya itu bebatuan besar, agak basah, dan ada pasir-pasirnya. Liciiin.

Mobil kami sempat selip. Aku jujur degdegan dan baca doa terus. Ban mobil bagian kiri selip. Batu-batu yang disusun oleh Pak Supir di situ pun tidak mampu membantu mobil melintasi jalanan. Kami berusaha beberapa kali, tapi belum juga berhasil.

Hampir 30 menit kemudian, ada senter dari bukit di sisi sungai. Alhamdulillah ada satu warga lokal yang menghampiri kami. Bapak warlok ini kasih tau itu sisi kanan mobil juga perlu dikasih batu. Baru lah Pak Supir mengisi bebatuan di bawah ban dan mobil akhirnya bisa melaju.

Pemandangan dari penginapan. Terlihat Pulau Mules di ujung sana.
Kami akhirnya menuju penginapan. Makan indomie pakai telur (ini penting). Tidur. Besok paginya kami menuju warung terdekat. Naik ojek ke pintu depan Wae Rebo.

Dari pintu depan ke Wae Rebo bisa jalan kaki sekitar 2 jam. Jalanan relatif menanjak dan berbatu. Menurut ku relatif mudah untuk pendaki pemula. Kami pun jalannya santai saja. Kalau lelah ya istirahat.

Di perjalanan aku senang sekali bisa melihat banyak anggrek hutan dan tumbuhan-tumbuhan rindang. Lumut dan tumbuhan paku. Pohon-pohon rindang.

Sambil melihat anggrek hutan.
Di perjalanan kami juga melihat banyak warga lokal ke Wae Rebo. Soalnya lagi mau ada acara tahunan. Orang-orang banyak yang bawa bahan makanan, ayam hidup, dan ada yang bawa babi lucu banget masih kecil.

Sampai di Wae Rebo, masih agak siang, kami jadi orang pertama yang sampai sana di hari itu. Kami menuju rumah kepala desa, setelah selesai baru ke penginapan. Tak lupa, kami jajan kain dan kaos untuk oleh-oleh. Ngobrol sama pemuda-pemuda Wae Rebo di kantor mereka.



Kami baru tau ternyata asal usul Wae Rebo ini tuh dari suku minang yang merantau dan menetap di situ. Temanku yang orang minang langsung semangat banget mendengarkan ceritanya.

Ngga lama, kami iseng jalan-jalan ke air terjun. Air terjun ini agak jauh, jalannya aja satu jam. Air terjunnya juga relatif kecil. Menurut ku capeknya aja sih ke sana tuh. Tapi sudah terlanjur di jalan. Ya sudah dilanjut saja. 



Di perjalanan menuju air terjun, kami melihat kebun warga. Ada vanili. Ada markisa. Ada pula berbagai tanaman yang ditanam dengan konsep hutan kebun (agroforestry).

Setelah selesai main di air terjun, kami kembali ke penginapan. Mandi. Lalu menikmati sore. Menurut ku, kegiatan wajib di Wae Rebo itu memang diam saja sambil bengong melihat desa. Melihat langit. Melihat anjing berlarian riang. Anak-anak keliling desa.

Di malam hari kami menonton warga latihan memainkan musik untuk persiapan hari festival. Benar-benar pengalaman tak terduga.

Latihan musik untuk festival.
Paginya, aku bangun jam 5 untuk melihat matahari pagi. Walau ternyata bangun jam 5 itu ngga cukup pagi, mungkin bagusnya jam 4.30. Aku suka sekali pagi hari di Wae Rebo. Tenang, syahdu, romantis.

Ngga lama kemudian, kami beberes, sarapan, dan foto-foto. Kenang-kenangan dari Wae Rebo.


Aku difotoin kakak fotografer yang kebetulan ketemu waktu di Wae Rebo.

Pulangnya, kami kembali jalan kaki pulang dari Wae Rebo. Minum kelapa hijau di dekat pintu keluar. Sebuah penutupan yang pas.

Sekian cerita dari Wae Rebo. Terima kasih sudah membaca ya. Mohon maaf ceritanya agak buru-buru hahaha. 


Diny

Berenang di Gua Rangko

Halo!

Selamat hari pertama kerja di tahun 2024!

Hari ini aku ke kantor, lalu pulang kantor aku mau gym dulu. Pagi-pagi aku sudah kepikiran kapan aku sempat menulis. Akhirnya aku cicil saja tulisan ini saat aku di kereta perjalanan menuju kantor.


Hari ini tadinya aku mau cerita tentang perjalanan menyenangkan tahun ini ke Wae Rebo, Nusa Tenggara Timur. Namun ternyata, baru cerita tentang Gua Rangko sebelum ke Wae Rebo aja sudah kepanjangan.. Jadi ini aku cerita tentang Gua Rangko dulu deh.

Ide perjalanan ke Wae Rebo ini dimulai saat kantor ku punya rencana untuk field trip ke Labuan Bajo. Ku pikir, jauh-jauh ke sana, sayang banget kalau hanya sebentar. Akhirnya aku extent perjalanan dan berangkat duluan untuk trip ke Wae Rebo.



Aku juga ngga ada kepikiran mau ke Gua Rangko. Rencananya, dari bandara, kami mau langsung pergi ke Wae Rebo. Kami pesan penerbangan pertama, kalau tidak salah jam 4 pagi. Ternyata pas sudah di bandara, kami baru tau kalau jadwal pesawat kami dipindah ke jadwal yang lebih siang di jam 6 pagi.

Oleh karena perjalanan ke Wae Rebo itu cukup panjang, perpindahan jadwal pesawat ini artinya kami ngga bisa langsung naik ke Wae Rebo hari itu juga. Akhirnya kami menikmati waktu di sekitar Labuan Bajo dahulu dan memutuskan untuk ke Gua Rangko.

Aku yang ngga persiapan apapun, ngga tau tentang gua ini.
Pelabuhan
Ternyata ke Gua Rangko perlu naik perahu dulu. Kami sewa perahu Rp100,000 per orang. Agak mahal, soalnya kami bukan naik dari pelabuhan yang umum. Kalau di pelabuhan umum kabarnya hanya sekitar Rp35,000 deh.

Dari pelabuhan ke gua, kami naik perahu sekitar 15 menit. Air lautnya sangat jernih, dari mulai di pelabuhan, aku sudah bisa melihat ikan-ikan kecil berenang. Di perjalanan kami melihat pemandangan gundukan batu karang yang diselimuti pepohonan pantai.

Ikan-ikan di sekitar pelabuhan.
Aku juga bisa melihat ekosistem padang lamun. Kalau kamu belum kebayang, ekosistem lamun itu semacam nama lain dari ganggang atau alga yang berukuran besar. Beberapa jenis ganggang laut bisa dikonsumsi seperti dedaunan yang biasa dimakan untuk sup miso atau dikeringkan jadi nori untuk makanan Jepang.

Ekosistem ganggang adalah ekosistem yang sangat penting. Ekosistem inilah yang membantu mengurangi gelombang ombak. Lamun juga tempat tinggal banyak ikan dan hewan laut lainnya. Lamun juga sumber makanan banyak hewan laut, bahkan di tempat lain ini makanan favorit dugong. Yaa tapi di Labuan Bajo ngga ada dugong juga sih haha.
lamun
Oke, lanjut. Nah, gua ini ternyata ada kolamnya haha. Aku ganti baju renang, lalu sewa kacamata snorkeling. Soalnya aku belum percaya diri berenang tanpa kacamata.

Saat masuk ke dalam Gua Rangko, aku takjub. Di dalam gua itu ada air yang sangat jernih. Kita pun bisa melihat keindahan formasi batu kapur di atas-atas gua yang disebut stalaktit.

Kabarnya, gua ini terbentuk dari kikisan air hujan selama ratusan tahun. Kalau ku bayangkan, berarti mungkin airnya jatuh dari stalaktit itu ya? Entahlah. Aku coba cari penelitian yang membahas proses pembentukan gua ini tetapi belum ketemu.

Oiya, kolamnya lumayan dalam, mungkin 5-6 meter? Aku degdegan sekali berenang di sana hahaha. Meski aku sudah bisa berenang, aku belum pernah berenang di tempat yang dalam.

Teman ku cukup berani berenang sampai pinggir-pinggir yang gelap. Aku maksimal berenang sampai tengah saja. Kalau bisa yang ngga terlalu jauh dari jangkauan tangan pegang ke stalaktit hahaha.

Jujur, benar-benar degdegan berenang di sini.


Aku difotoin temanku tapi bluuuuuurrr
Kabarnya gua ini akan semakin indah saat matahari mulai masuk di antara mulut gua. Cahaya nya akan berpendar, menerangi air di gua yang sangat jernih itu. Sayangnya, aku tidak di sana sampai sore, saat matahari sore mulai masuk. Lagipula, semakin sore sepertinya semakin ramai?

Selesai berenang di gua, kami main dulu di pantai sebentar. Haduh, pasir pantainya halus sekali. Ombaknya tipis-tipis saja dan airnya tidak dalam. Di tepi pantai ada ayunan yang cantik sekali.



Main sebentar saja tapi rasanya senang deh. Aku makasi banget ke temanku yang tau-tauan tempat ini, jadi aku bisa main di sana.

Anyway, selamat tahun baru. Semoga kamu selalu sehat dan semakin sering berbahagia ya.


Diny

Menikmati Senja di Ramang-Ramang

Halo-halo!


Aku lagi mau ikutan 30 Hari Bercerita nih. Aku akan coba bercerita 30 hari ke depan tentang topik yang ku mau. Kemungkinan sih cerita jalan-jalan yang sudah lama banget ngga didokumentasikan lewat kata. Soalnya, aku lagi mau mengurangi waktu main Instagram dan Twitter. Terus aku ingin lebih banyak mulai menulis lagi.


Cerita pertama yang ingin aku ceritain adalah perjalanan ke Rammang-Rammang, Sulawesi Selatan.

Perjalanan ini adalah bagian dari perjalanan pertama aku bersama teman-teman pelatihan kepemimpinan, yang namanya BEKAL Pemimpin. Perjalanan kami pertama adalah ke Makassar. Menarik sekali buat aku, karena ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki kota Makassar. Sebelum acara BEKAL dimulai, aku ingin sekali pergi wisata di dekat situ.


Satu dua minggu sebelum aku berangkat ke Makassar, aku sempat googling dan menemukan objek wisata menarik di dekat Makassar yaitu Rammang-Rammang dan Taman Nasional Bantimurung. Sayangnya, aku tuh belum bisa nyetir mobil maupun motor dan aku ngga cukup berani pergi ke sana sendiri. Aku pun belum kenal teman-teman BEKAL Pemimpin, sehingga belum tau bisa mengajak siapa ke sana.


Sampai aku di bandara Makassar, aku memutuskan untuk pergi ke Rammang-Rammang saja, entahlah dengan siapa. Aku sampai di bandara sekitar jam 10 siang, lalu aku kenalan dengan beberapa teman-teman peserta BEKAL Pemimpin. Dari perkenalan itulah, aku ajak random teman baru ku. Ku tanya apakah dia bisa naik motor dan mau main ke Rammang-Rammang. Rencananya, aku mau sewa motor, lalu motoran ke sana. Betapa beruntungnya aku, orang pertama yang ku ajak langsung mengiyakan ide jalan-jalan ke Rammang-Rammang. Yes!


Dari bandara sebenarnya hanya setengah perjalanan menuju Rammang-Rammang, sepertinya hanya 30 menit deh. Tetapi, kami perlu ke hotel dulu untuk check in kamar, makan siang, dan taruh barang-barang. Akhirnya dari bandara, kami naik bus bersama teman-teman peserta BEKAL yang lain menuju ke hotel, lalu makan siang, dan taruh barang. Di perjalanan pun aku langsung cari kontak penyewaan motor dan minta motornya diantar ke hotel.



Ngga lama setelah itu, aku dan teman ku langsung pergi ke Rammang-Rammang. Dari hotel, kira-kira jam 4 dan perjalanan ke Ramang-Ramang sekitar 1 jam. Di perjalanan, ternyata kami satu jalur sama banyak truk, pengemudi yang baru pulang kerja, jadi agak kena macet sedikit. Sempat hujan deras sekali. Untungnya aku bawa jas hujan yang bisa ku pinjamkan ke temanku dan aku pakai jaket yang water-resistant. 


Pemandangan di kanan-kiri jalan terus berganti. Dari mulai jalan-jalan besar, kota tua, lansekap perbukitan, kebun, hutan sekunder, sungai, dan segala rupa.


Sampai di Ramang-Ramang, sudah agak sore sekitar jam 5. Kami sewa perahu kecil untuk menuju desa Ramang-Ramang. 


Oiya, Rammang-Rammang adalah bentangan kawasan karst yang sangat luas. Ribuan tahun lalu, kawasan ini telah menjadi tempat tinggal manusia purba yang ditandai dengan berbagai lukisan gua, artefak batu, mata panah, sisa makanan, dan gerabah masa lampau. Saat ini, selain menjadi tempat tinggal masyarakat, kawasan ini juga menjadi laboratorium alam bagi para peneliti.




Pertama, aku belum pernah melakukan perjalanan dengan perahu untuk melihat pemandangan bukit karst.


Kedua, aku suka sekali melalui liak liuk sungai yang di pinggirnya banyak tetumbuhan. Kawasan ini memang dulunya adalah kombinasi hidrologis daratan dan permukaan laut, yang dipengarugi pasang surut air laut. Di kanan kirinya kita dapat melihat tumbuhan Rhizophora sp. dan Nypa fructicans.


Berada di antara tetumbuhan Nypa fructicans


Ketiga, teman perjalanan ku ternyata sedang ulang tahun! Yaampun, sekalian merayakan ulang tahun dia deh.


Perjalanan menuju desa Rammang-Rammang sepertinya hanya sekitar 20-30 menit. Aku menikmati sekali melihat pemandangan pegunangan karst yang sangat unik. Sampai di sana, sudah di ujung petang, kami lekas menikmati warna-warni senja yang sangat indah.



Berada di sana, aku melihat semburat langit biru keunguan yang bercampur dengan warna jingga terang. 


Tidak lama kemudian, kelelawar-kelelawar keluar dari sarangnya yang ada di antara lubang-lubang batu karst. Bayangkan, langit yang sedang bagus-bagusnya dilewati oleh sekawanan kelelawar yang sangat banyak. Aku takjub sekali dibuatnya. Benar-benar perjalanan yang indah.


Senja di Rammang-Rammang

Garis-garis kelelawar yang mulai keluar dari sarangnya

Sayang sekali karena kami baru sampai sana ketika hari mulai berakhir, kami tidak terlalu lama berada di sana. Setelah kami menyaksikan senja dan temanku selesai sholat maghrib, kami bergegas kembali ke pelabuhan kecil tempat kami menyewa perahu. 


Di perjalanan, kami kembali melihat hutan nypa dan pegnungan karst yang sangat unik itu. Langit yang tadinya berwarna keunguan pun sedikit demi sedikit berubah menjadi jingga dan merah. Benar-benar sore yang tak pernah ku bayangkan.


Sampai di pelabuhan hari sudah gelap, untung saja Bapak pengemudi perahu sudah hapal benar dengan titik-titik batu yang menojol. Karena perahu itu tidak ada lampunya. Buat ku sih kondisi sangat gelap dan aku tidak bisa melihat apa-apa dengan jelas. Kami sampai di pelabuhan sekitar jam 7 lalu langsung beranjak balik ke penginapan.


Perjalanan menuju pelabuhan


Sepanjang perjalanan kami ngobrol mensyukuri perjalanan dadakan ini karena bisa berkesempatan melihat sejumput keindahan dunia. Kami sampai di hotel sekitar jam 8 lalu langsung makan makanan yang sudah disediakan oleh panitia. Kami bertemu dengan teman-teman BEKAL Pemimpin yang lain, berkenalan, berbincang, lalu istirahat.


Buat ku, perjalanan ini menjadi pembuka perjalanan yang sangat menarik. Perjalanan BEKAL Pemimpin yang membuatku banyak punya teman baru dan tempat aku berproses menjadi pribadi yang lebih baik.


Oiya, aku menemukan tulisan KOMPAS yang lebih lengkap menjelaskan tentang karst di Rammang-rammang, silakan baca tulisannya di KOMPAS.


Terima kasih sudah mampir di blog ku. Selamat menikmati tahun 2024!



Diny

Menikmati Pameran di Galeri Nasional


Kemarin saya pergi jalan-jalan ke Galeri Nasional Indonesia. Senang sekali rasanya! Saya suka pergi ke museum atau ke galeri seni.

Galeri Nasional terletak di pusat kota Jakarta, Jalan Medan Merdeka Timur, tepat di seberang Stasiun Gambir.

Untuk bisa masuk ke Galeri Nasional, kita wajib melakukan pendaftaran online di website mereka. Kita bisa pilih jam masuk sesuai dengan yang kita inginkan dan tergantung dari ketersediaan slot yang masih tersisa. Setelah melakukan pendaftaran, kita akan mendapat barcode tiket masuk melalui email. Barcode inilah yang akan di scan sebelum masuk ke ruang pameran. Tanpa pendaftaran ini, kita ngga ngga akan bisa masuk ke ruang pameran apapun alasannya.

Galeri Nasional punya beberapa ruang pameran. Pameran yang sudah pasti selalu ada namanya Pameran Tetap. Letaknya di sebelah kiri kompleks Galeri Nasional. Kalau kamu belum pernah ke sana, saya sarankan kamu booking 2 sesi. Ini supaya kamu bisa lebih santai dan menikmati semua karya nya. Kalau satu sesi saja rasanya terlalu terburu-buru atau belum selesai baca dan menikmati semua karya yang dipamerkan. 

Di Pameran Tetap, saya paling suka lukisan Kapal Karam di Landa Badai karya Raden Saleh. Di sini juga ada replika lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh yang disandingkan dengan karya Charles V berjudul Pengunduran Diri. Kalau tidak salah, kedua lukisan tentang Pangeran Diponegoro di Galeri Nasional Indonesia adalah lukisan replika. Lukisan aslinya dipajang di Istana Merdeka (kalau tidak salah ingat). 

Selain lukisan itu, saya juga suka lukisan Dyan Anggraini. Saya merasa lukisan itu sungguh menggambarkan perjuangan seorang ibu dalam berbagai aspek dalam hidupnya.

Selain lukisan, saya juga suka patung karya Dolorosa Sinaga berjudul Solidaritas. Karya Dolorosa Sinaga memang erat sekali dengan pencerminan kekuatan perempuan, sebuah tema yang saya secara personal sangat suka.

Solidaritas

Nah, minggu ini, saya ke pameran berjudul Indonesian Women Artist #3: Infusions Into Contemporary Art yang menampilkan 10 perupa perempuan Indonesia. Seluruh perupa tersebut berusia lebih dari 50 tahun. Pameran ini akan berlangsung dari tanggal 30 Maret sampai 24 April 2022 di Gedung A dan B Galeri Nasional Indonesia.

Buat saya pameran ini sangat menarik, menampilkan berbagai rasa dan warna, juga cerita yang kompleks, dinamis, dan mendalam. Saya paling suka di ruang yang berisi karya-karya ibu Dyan Anggraini. Lagi-lagi saya terkesima dengan seluruh karya Ibu Dyan. Karyanya berjudul Kor Bungkam juga sangat menarik.

Karya Dyan Anggraini lainnya yang paling terngiang bagi saya adalah karya berbentuk kaki-kaki berjajar dan penuh luka menganga yang dijahit dengan peniti. Seperti menggambarkan perjalanan panjang yang menyakitkan. Peniti ini bermakna perjalanan seorang seniman yang tidak mudah penuh tantangan, hambatan yang tiada habisnya.  Semua karya Dyan Anggraini yang ada peniti-penitinya, saya sukaa!


Karya Dyan Anggraini

Oiya, kalau kamu ke sini, jangan lupa kalau pameran Indonesian Women Artist ini ada di Gedung A yang berada di tengah Galeri Nasional dan Gedung B yang ada di sebrang pintu keluar ruang pameran gedung A.

Nah, kalau di gedung B, saya paling suka karya ibu Dolorosa Sinaga (lagi). Soalnya karya Dolorosa Sinaga itu seperti memiliki 'nyawa' tersendiri dan kisah yang mendalam. Apalagi patung berjudul Merenungi Hari Akhir. Coba deh kamu lihat karya-karya Dolorosa Sinaga lainnya di Katalog Seni Kontemporer Indonesia ini.

Karya Dolorosa Sinaga

Di gedung B juga ada ruangan karya Bibiana Lee yang mengusung tema rasisme. Saya suka karena ruangannya hitam merah dan pesannya langsung dapat.

Oiya terakhir, sekarang ini juga ada pameran solo Otty Widasari yang berjudul Partisan. Pameran yang dikurasi oleh Luthfan Nur Rochman ini membedah keberadaan teknologi media terkini yang berinteraksi dengan berbagai media lain dan juga penonton. 

Ruangan pameran terbagi menjadi tiga bagian. Pertama dalam bentuk karya narasi, ini saya suka. Kedua, perpaduan antara percakapan sehari-hari, teknologi, interaksi dengan pengunjung, dan segala kekacauan atau kerapiannya. Ketiga, video-video karya seni yang pernah ditampilkan di berbagai festival di dunia.

Saya cukup suka ruangan tontonan yang ada di dalam. Meskipun kalau sendirian, saya ngga akan berani masuk karena ruangannya agak gelap dan sepi. Saya takut hehehe. Kalau ada teman dan/atau pengunjung lain tetap seru kok.



Menikmati karya Otty Widasari


***

Selesai melihat pameran, saya dan teman main ke ruang Pajang Karya yang sedang menampilkan karya-karya sketsa Iwan Widodo. Di sana, saya ngobrol dengan mas yang jagain, namanya Mas Anjar. Kata Mas Anjar (kalau ngga salah), di situ kita bisa berkarya dengan media yang ada. Akhirnya saya menggambar sebuah karya berjudul Musim Semi di Flagstaff.


Menggambar di Pajang Karya

Sambil menggambar, saya dan teman saya mengobrol ngalor-ngidul sama Mas Anjar. Lalu dia kasih tau ternyata ada yang namanya KamiSketsa dan ada pelatihannya. Tanggal 7 April ini akan ada pelatihan langsung yang diajari oleh Iwan Widodo. Pelatihan ini gratis dan digelar secara rutin. Kamu bisa dapat informasinya di Galeri Nasional Indonesia. Pulang menggambar, saya dan teman dikasih jajanan oreo untuk dimakan di jalan. Terima kasih mas!


Musim Semi di Flagstaff. Pegal juga menggambar kertas besar. 

Pulang dari Galeri Nasional, kami main ke Mangga Besar naik transjakarta. Saya jajan kue di toko kue jadul yang cukup terkenal namanya Suisse Bakery, rekomendasi dari Jen. Saya jajan kue sus, teman saya jajan bolu ketan. Dua-duanya enak sekali!

Suisse Bakery buka setiap hari jam 7 pagi - 8 malam
Alamat Suisse Bakery:
Jl. Hayam Wuruk 114 Blok A No.5-6, RT.10/RW.9, Maphar, Taman Sari, Jakarta Barat, 11180

Malamnya, kami makan pho di Pho Saigon. Saya sudah lama banget ngga makan pho yang enak dan di sini beneran enak banget. Dagingnya banyak dan kuahnya pas. Makan ini bikin hati ku semakin senang. Habis makan pho, baru deh pulang naik kereta api dari stasiun Mangga Besar yang jaraknya hanya 500 meter dari Pho Saigon.

Pho Saigon buka setiap hari jam 10 pagi - 10 malam.
Alamat Pho Saigon: 
Jl. Raya Mangga Besar No.72, RT.6/RW.1, Taman Sari, Jakarta Barat, 11150

Jajan kue sus di Toko Suisse

Pho Saigon

***

Sungguh hari yang menyenangkan!


Semoga hari-hari mu juga menyenangkan yaa.


Diny


Older Posts

Search This Blog

Contact Form

Name

Email *

Message *