Wae Rebo yang Syahdu

Wednesday, January 3, 2024

Haaii..

Pagi ini Jakarta hujan rintik-rintik.. Rasanya enak sekali tidur-tiduran di kasur. Namun aku harus ke kantor karena kemarin laptop ku tinggal di kantor hehehe.

Aku hari ini mau lanjutin cerita jalan-jalan ke Wae Rebo. 


Aku ke sana sama dua temanku. Satu, sebagai lulusan antropologi, dia sudah ingin sekali ke sana sejak jaman kuliah. Kabarnya, pergi ke Wae Rebo itu semacam 'pergi haji'nya anak antrop. Apa iya?

Temanku yang satu lagi, semangat pergi ke sana karena mumpung ada temannya. Dia sudah sering pergi melanglang buana di Indonesia. Sekarang, agak susah dapat teman jalan bareng, makanya dia senang aku dan temanku mau ikutan ke Wae Rebo.


Perjalanan dari Labuan Bajo ke desa terdekat Wae Rebo sekitar 4 jam. Kami ke sana dengan sewa mobil dengan supir yang handal. Jalanannya sih sebagian besar sudah bagus, tetapi ada bagian jalan yang sudah ambrol. Hampir sepanjang jalan, ngga ada lampunya, kecuali dari rumah-rumah yang cukup jauh jaraknya.

Sempat ada bagian jalan yang ambrol. Itu jalanan di atas sungai kecil. Sebelah kanannya pantai. Artinya jalanannya itu bebatuan besar, agak basah, dan ada pasir-pasirnya. Liciiin.

Mobil kami sempat selip. Aku jujur degdegan dan baca doa terus. Ban mobil bagian kiri selip. Batu-batu yang disusun oleh Pak Supir di situ pun tidak mampu membantu mobil melintasi jalanan. Kami berusaha beberapa kali, tapi belum juga berhasil.

Hampir 30 menit kemudian, ada senter dari bukit di sisi sungai. Alhamdulillah ada satu warga lokal yang menghampiri kami. Bapak warlok ini kasih tau itu sisi kanan mobil juga perlu dikasih batu. Baru lah Pak Supir mengisi bebatuan di bawah ban dan mobil akhirnya bisa melaju.

Pemandangan dari penginapan. Terlihat Pulau Mules di ujung sana.
Kami akhirnya menuju penginapan. Makan indomie pakai telur (ini penting). Tidur. Besok paginya kami menuju warung terdekat. Naik ojek ke pintu depan Wae Rebo.

Dari pintu depan ke Wae Rebo bisa jalan kaki sekitar 2 jam. Jalanan relatif menanjak dan berbatu. Menurut ku relatif mudah untuk pendaki pemula. Kami pun jalannya santai saja. Kalau lelah ya istirahat.

Di perjalanan aku senang sekali bisa melihat banyak anggrek hutan dan tumbuhan-tumbuhan rindang. Lumut dan tumbuhan paku. Pohon-pohon rindang.

Sambil melihat anggrek hutan.
Di perjalanan kami juga melihat banyak warga lokal ke Wae Rebo. Soalnya lagi mau ada acara tahunan. Orang-orang banyak yang bawa bahan makanan, ayam hidup, dan ada yang bawa babi lucu banget masih kecil.

Sampai di Wae Rebo, masih agak siang, kami jadi orang pertama yang sampai sana di hari itu. Kami menuju rumah kepala desa, setelah selesai baru ke penginapan. Tak lupa, kami jajan kain dan kaos untuk oleh-oleh. Ngobrol sama pemuda-pemuda Wae Rebo di kantor mereka.



Kami baru tau ternyata asal usul Wae Rebo ini tuh dari suku minang yang merantau dan menetap di situ. Temanku yang orang minang langsung semangat banget mendengarkan ceritanya.

Ngga lama, kami iseng jalan-jalan ke air terjun. Air terjun ini agak jauh, jalannya aja satu jam. Air terjunnya juga relatif kecil. Menurut ku capeknya aja sih ke sana tuh. Tapi sudah terlanjur di jalan. Ya sudah dilanjut saja. 



Di perjalanan menuju air terjun, kami melihat kebun warga. Ada vanili. Ada markisa. Ada pula berbagai tanaman yang ditanam dengan konsep hutan kebun (agroforestry).

Setelah selesai main di air terjun, kami kembali ke penginapan. Mandi. Lalu menikmati sore. Menurut ku, kegiatan wajib di Wae Rebo itu memang diam saja sambil bengong melihat desa. Melihat langit. Melihat anjing berlarian riang. Anak-anak keliling desa.

Di malam hari kami menonton warga latihan memainkan musik untuk persiapan hari festival. Benar-benar pengalaman tak terduga.

Latihan musik untuk festival.
Paginya, aku bangun jam 5 untuk melihat matahari pagi. Walau ternyata bangun jam 5 itu ngga cukup pagi, mungkin bagusnya jam 4.30. Aku suka sekali pagi hari di Wae Rebo. Tenang, syahdu, romantis.

Ngga lama kemudian, kami beberes, sarapan, dan foto-foto. Kenang-kenangan dari Wae Rebo.


Aku difotoin kakak fotografer yang kebetulan ketemu waktu di Wae Rebo.

Pulangnya, kami kembali jalan kaki pulang dari Wae Rebo. Minum kelapa hijau di dekat pintu keluar. Sebuah penutupan yang pas.

Sekian cerita dari Wae Rebo. Terima kasih sudah membaca ya. Mohon maaf ceritanya agak buru-buru hahaha. 


Diny

No comments

Post a Comment

Search This Blog

Contact Form

Name

Email *

Message *