Belajar Tentang Belajar

Belajar Tentang Belajar

December 31, 2020
Pertengahan tahun ini belajar berenang dan akhirnya bisa berenang sekitar bulan Oktober.

Wow, sudah akhir tahun saja nih. Waktunya membuat ulasan kehidupan setahun terakhir. Tahun 2020, memang luar biasa ya. Ada pandemi yang memengaruhi kehidupan di seluruh dunia. Untuk pertama kalinya dalam kehidupan kita, semua orang sedunia memiliki masalah bersama. Barangkali masa-masa ini akan jadi hal paling menarik dari sejarah kehidupan yang pernah dijalani. Bisa jadi fase ini akan menjadi cerita 'perang' yang akan diceritakan ke anak cucu berkali-kali nantinya, kalau kita bisa selamat dan melalui pandemi.

Kalau bisa dilihat setahun terakhir, hal utama yang saya pelajari sepertinya adalah soal belajar. Bahwa kita bisa mempelajari apapun yang kita inginkan kalau kita mau dan bisa memberikan energi untuk mempelajari hal tersebut. Bahwa ada proses-proses yang harus dilalui supaya bisa menjadi bisa. Kalau kata dokter saya, ini namanya belajar metakognisi. Tentunya, saya masih jauh dari paham maknanya metakognisi itu apa ya haaha.

Tetapi untuk mempelajari suatu hal baru, perlu ada semacam syarat yang harus dipenuhi. Kalau sedang dalam kondisi mental yang stabil dan relatif sehat, belajar apapun akan lebih mudah dijalani prosesnya. Kalau sedang berada dalam kondisi finansial yang stabil, pikiran juga bisa digunakan untuk pengembangan diri. Harus ada modal dasar yang kalau bisa terpenuhi, proses belajar akan bisa lebih berenergi atau mungkin lebih mudah. Dan yang paling penting adalah apakah ada kemauan dan keikhlasan untuk menjalani proses belajar atau tidak.

Setahun terakhir saya mencoba banyak hal baru yang hampir semuanya memiliki pelatih tersendiri. Saya sempat latihan rutin climbing, menari, dan olahraga di gym, serta latihan mengelola emosi dan perasaan di terapi. Pelatih akan sangat membantu dalam mempelajari suatu hal baru. Mereka bisa memberi tau teknik-teknik yang tepat, memberi tahu ketika kita masih salah, dan juga memberikan ekstra energi agar kita bisa belajar lebih cepat. Walau sebenarnya bisa saja sih belajar sendiri, terutama kalau kita sudah memiliki kedisiplinan tinggi terhadap diri sendiri. Namun, biasanya proses belajar sendiri akan lebih panjang dibandingkan kalau memiliki pelatih.

Ketika belajar hal baru, ada fase dimana saya merasa sangat tidak bisa dan ternyata saya kurang nyaman dengan perasaan tidak bisa tersebut. Maunya sekali belajar, langsung bisa gitu lho. Tapi kan ngga mungkin ya, hahaha. 

Nah akhirnya saya mencoba untuk belajar melewati asumsi 'saya tidak bisa' ini. Belajar tidak memberikan penilaian terhadap diri sendiri, karena tidak bisa sesuatu hal. Belajar mempercayai proses diri sendiri, yang tentunya akan berbeda dengan proses orang lain. Belajar melihat pola pembelajaran dan pada akhirnya belajar tentang belajar.

Belajar menari tradisional. Begitu sudah mulai hapal gerakannya, eh pandemi mulai. Sedih sekali.


Dalam prosesnya, kita bisa memilih apakah akan belajar sampai 'bisa' atau mau sampai 'jago'. Saya rasa sih kita ngga perlu jago dalam semua hal. Ada banyak hal yang belajar sampai 'bisa' sudah memuaskan hati dan itu cukup. Apalagi kalau keahlian tersebut tidak terlalu relevan dengan kehidupan sehari-hari ataupun tidak terlalu kita sukai. Misalnya, ketika tahun ini saya belajar pakai make up. Saya berhenti sampai kata 'bisa' saja, karena ternyata saya kurang menikmati proses memakai make up. Sehari-hari saya tidak terlalu sering menggunakan atau merasa perlu menggunakannya. Jadi ya sudah. 

Ada teknik-teknik tertentu yang bisa digunakan untuk mempelajari kebiasaan baru. Dalam buku the Atomic Habit, misalnya, cukup membantu memberikan cara praktikal untuk belajar membiasakan hal baru. Latihan juga sangat penting untuk mempelajari hal baru. Misalnya, kalau mau bisa menulis, ya harus mau latihan rutin menulis. Semuanya perlu latihan. Kalau mau bisa hidup rapi, ya harus belajar langsung rapi-rapi begitu melihat situasi yang berantakan.

Banyak hal bisa dipelajari, kalau mau. Kalau tidak mau pun, tidak masalah. Bisa jadi kemauan belajar itu baru muncul tahun depan atau bulan depan. Ngga ada yang pernah tau sejauh mana seseorang akan belajar suatu hal. Makanya itu, saya ingin sekali lebih bebas dari pikiran menilai suatu hal, diri sendiri, atau orang lain. Kita ngga pernah tau ya apa yang akan terjadi di masa depan. 

Belajar menjahit. Ternyata senang sekali bisa menjahit!

Jadi tahun ini saya belajar apa saja ya.. climbing, menari tradisional, olahraga sendiri di rumah, mengelola dan menjaga kesehatan mental, bekerja dari rumah, mengelola dan merapikan bahan makanan, makan sayur dan buah secara rutin, meditasi, menjahit, berenang, dan banyak hal tentang diri sendiri. Saya juga lumayan memberikan perhatian ke hubungan-hubungan yang saya miliki, baik personal maupun profesional. Saya bangga sekali bisa melewati tahun ini dengan lebih tenang dan mau meluangkan waktu untuk fokus ke diri sendiri. Tahun yang berat, namun buat saya, relatif jauh lebih mudah dibandingkan tahun lalu.

Di akhir tahun ini, saya berdoa sekali supaya saya bisa selalu menjadi pribadi yang senang belajar. Mau melihat suatu hal dari berbagai sisi. Mau menjalani proses yang berat agar bisa menjadi sesuatu untuk masa kini atau masa depan. Semoga tahun depan bisa lebih baik, tapi kalau tidak lebih baik, semoga saya bisa belajar dari segala prosesnya.


xoxo,

Diny

Buah Tangan dari Sesi Terapi

Buah Tangan dari Sesi Terapi

December 26, 2020

Menyambung cerita sebelumnya tentang perjalanan kesehatan kejiwaan yang saya lalui, kali ini saya akan berbagi tentang beberapa alat atau cara yang cukup berguna buat saya. 

Saya pernah berbagi soal ini, misalnya di post yang berjudul Things that Keeps Me Sane. Kalau dilihat-lihat dengan kacamata sekarang, beberapa hal dalam daftar tersebut cenderung saya gunakan untuk melarikan diri dari kenyataan. Waktu itu saya membuat daftarnya sendiri, tanpa bimbingan dokter jadi yaa.. gitu deh. 

Saya ngga tau apakah cara-cara ini bisa berguna atau ngga buat orang lain. Saya diajarkan teknik ini oleh dokter secara bertahap dan sesuai dengan kemajuan saya pada saat sesi terapi. Saya juga bukan dokter, konsuler, atau terapis. Cara yang saya tuliskan di bawah ini adalah cara-cara yang berguna buat saya, berdasarkan intepretasi saya dari sesi terapi dan dari berbagai sumber lainnya seperti buku, podcast, diskusi, dan lain-lain. Bisa saja saya salah mengintrepretasikan cara ini, jadi keep in mind that it may not scientifically proven

Saya yakin sekali kalau yang kayak gini-gini itu memang ngga bisa belajar dalam waktu singkat. Harus terus-menerus dilatih. Mungkin ngga akan pernah masuk ke kata 'jago'. Penting untuk menjadi proses belajar seumur hidup. Apapun masalahnya, kita bisa menggunakan cara ini sebagai tools untuk menghadapinya, or maybe not but we can at least give it a try.

Cara-cara ini juga sudah saya gunakan setahun terakhir. Namun, baru di bulan November, sesi terakhir dengan dokter, akhirnya saya mengerti apa maksud dokternya. Sesi itu bisa jadi adalah "aha! moment" saya. Yaitu saat dimana semua yang selama ini dipelajari di sesi terapi bersatu dan terkoneksi menjadi pengetahuan komprehensif. Entah kenapa saya jadi langsung merasa berdaya, kayak "OH MAKSUDNYA GINI TOH" (mesti di capslock).

Me trying to figure out adult life.

Poin-poin ini dibuat bukan berdasarkan urutan tertentu. Semua bisa dilakukan perlahan-lahan atau berbarengan.

1. Menulis sebagai alat meditasi

Saya sudah menggunakan cara menulis untuk menceritakan apa yang terjadi dalam kehidupan saya, barang kali sejak SMP. Biasanya saya menggunakan teknik menulis sebagai tempat sampah. Dulu, saya terbiasa menulis apa yang terjadi dalam kehidupan A-Z dan penilaian saya terhadap situasi tersebut. Menulis bisa membantu saya memindahkan apa yang ada di pikiran, sehingga kepala saya terasa lebih ringan.

Namun, kalau mau naik tingkat, kalau mau mendaur ulang 'sampah-sampah' itu menjadi sesuatu yang bermakna, menulis bisa dijadikan terapi. Caranya adalah dengan melakukan assessment terhadap emosi yang saya punya. Misalnya dengan memakai kata 'saya merasa..', 'saya percaya..', 'saya yakin..' dan lainnya yang berawal dengan kata 'saya'. How do I feel about things that happened in my life?

Teknik ini bisa melatih diri kita untuk fokus sama diri sendiri sehingga tidak menyalahkan, tidak memberi penilaian buruk/baik, dan tidak fokus pada hal-hal yang di luar kontrol, seperti orang lain atau keadaan. Teknik ini juga dipelajari di buku Nonviolent Communication yang jadi panduan saya untuk belajar teknik-teknik tersebut. Dengan metode ini, kita bisa belajar menjadi subjek dalam kehidupan yang kita jalani. Bukan hanya sebagai penonton atau korban.

Menulis adalah salah satu cara saya mengenal diri sendiri.


2. Mengubah familiarity/kebiasaan

Pengalaman yang kita miliki telah mengajarkan kita berulang kali dan terus-menerus. Dampaknya adalah kita sudah membangun refleks tertentu ketika menghadapi pengalaman tertentu. Something that is familiar to us. Sayangnya, dalam perjalanan kehidupan, berbagai hal bisa berubah. Respon yang kita miliki terhadap situasi yang sama, juga mesti ikut berubah. Atau bisa jadi, respon yang kita miliki selama ini bukan respon yang relatif sehat dan kita mau mengubahnya.

Gimana caranya supaya bisa membiasakan diri dengan kebiasaan yang baru?

  • Sadar. Sadar dengan apa yang terjadi.
  • Komitmen. Apakah kita rela dengan perubahan yang mau dibuat? Kalau belum rela, ya sudah ngga papa, nanti lanjut ke tahap berikutnya kalau sudah siap. Kalau sudah rela..
  • Kenali. Kenali situasi, perasaan, kenyataan, dan pilihan-pilihan yang muncul. 
  • Buat keputusan. Dari berbagai opsi respon yang bisa kita ambil, pilih salah satu. 
  • Memposisikan diri. Lihat apakah kita bisa memposisikan diri menuju versi baru sebagai respon dari suatu kondisi yang familiar.
Teman saya bilang, ini mirip dengan Practice the Pause. Kalau menurut saya, kita bisa melakukan ini kalau sudah terbiasa dengan belajar self-awareness. Pause tanpa self awareness juga ngga akan jadi apa-apa.

3. Latihan

Latihan, latihan, latihan. Karena ini adalah sesuatu yang ngga familiar. Kita ngga terbiasa dengan kondisi tersebut. Kita mungkin belum tau reaksi seperti apa yang pas dan relatif sehat. Oleh karena itu, penting untuk bisa sadar dengan apa yang kita rasakan, pikirkan, dan pilihan yang akan kita ambil. Penting untuk bisa sadar dan hadir untuk diri kita sendiri.

4. Menggunakan realisasi

Sering kali saya punya pertanyaan-pertanyaan yang saya ngga tau jawabannya apa. Misalnya, kok A melakukan B ya?. Dalam mengatasi hal tersebut, biasanya, saya sering mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sendiri. Mencoba membuat semuanya menjadi rasional. Oh, mungkin si A melakukan B karena dia merasa C. Inilah yang namanya realisasi.

Realisasi berarti berusaha membuat semuanya rasional, riil, dan punya jawaban. Realisasi ini bisa kelihatan seperti bentuk mengatasi masalah yang sehat, padahal belum tentu. Memang realisasi ini sudah naik tingkat dari level menyalahkan/blaming. Tapi, kalau mau naik tingkat lagi.. We can take a look at this in more detail.

Kita belum tentu akan punya jawaban yang benar. Belum tentu kita akan mendapatkan closure yang kita harapkan. Kalaupun kita tanyakan ke orang yang bersangkutan (kasus si A), belum tentu A juga tau alasannya, atau kalaupun dia tau, belum tentu dia mau menjelaskan ke kita. Kalau pun A mau menjelaskan ke kita, belum tentu kita mengerti. Semuanya serba tidak pasti. Bagi orang yang suka mempertanyakan sesuatu dan suka mencari jawaban, seperti saya, ini hal yang berat. I tend to want to know the answer.

Ketika terjebak dalam realisasi, kita sebagai manusia sering juga terjebak dalam confirmation bias. Confirmation bias artinya mengintrepretasikan sesuatu berdasarkan hal yang kita yakini, yang tentu saja belum tentu benar. Sering kali kita memilih salah satu jawaban yang kita yakini kebenarannya walau dengan informasi yang tidak penuh. Padahal jawaban tersebut hanya mentok di kata 'mungkin', hanyalah sebuah kemungkinan. Bisa benar bisa juga tidak. Makanya kita mesti lebih hati-hati dalam hal ini.

Untungnya, kita bisa menggunakan realisasi ke tingkat yang lebih sehat. Kita bisa menggunakan realisasi untuk membuat berbagai opsi jawaban. Contohnya, bisa saja A melakukan B karena C, D, E, atau F. Lalu, kita bisa membiarkannya begitu saja. Kita tidak perlu memilih apakah yang benar adalah C, D, E, atau F. Kita bisa meyakini bahwa ada berbagai opsi jawaban dan it is okay to not have an answer.

Ingat, ngga ada orang yang bisa kita kontrol selain diri kita sendiri.

Life is a series of open ended questions.


5. Mengobservasi tanpa memberikan penilaian

Mengobservasi yang bebas interpretasi, tanpa nilai, tanpa kata "seharusnya". Jujur, ini saya masih ngga terlalu mengerti gimana caranya. Walau pembahasan ini ada juga di buku Nonviolent Communication, tapi saya masih belum paham benar gimana cara praktikal di kehidupan nyata. 

Intinya sih kita bisa melatih diri kita untuk melihat sesuatu tanpa interprestasi menggunakan nilai yang kita miliki. Kita punya latar belakang yang berbeda, luka masa lalu yang berbeda, mungkin budaya, agama, atau apapun yang buat kita penting, belum tentu itu penting buat orang lain. We don’t have to judge them for being different than us. Easier said than done. Yup!

Melihat perbedaan nilai ini kayaknya mesti dibarengi dengan (balik lagi) self awareness dan mungkin juga boundaries. Yang orang lain lakukan, tidak berarti akan mendefinisikan diri kita. Saya dan orang lain adalah dua individu yang berbeda. It is okay to agree to disagree. Apalagi kalau terkait nilai penting yang kita anut ya. 

Tapi ini susah banget dilakukan ke orang-orang terdekat kita. Barangkali kita secara tidak sadar sudah menanamkan harapan atau asumsi tertentu ke orang terdekat, sehingga ketika mereka ternyata memiliki nilai dasar yang berbeda dengan kita atau memberi respon yang tidak diharapkan, tentunya kita bisa merasa kecewa. Ketika kekecewaan ini tidak diolah lebih lanjut dan ditambah dengan penilaian-penilaian yang kita berikan ke orang tersebut maka kekecewaan ini bisa berubah menjadi sakit hati atau resentment

6. Mengelola preoccupied mind 

Preoccupied mind mungkin bisa dijelaskan sebagai pikiran yang terisi dengan suatu hal atau seseorang yang dianggap penting. Preoccupied mind saya selalu tentang sesuatu yang saya anggap sebagai segalanya. Ketika saya kehilangan hal yang saya anggap sebagai 'segalanya', lalu siapakah saya di luar dari itu semua?

Oleh karena preoccupied mind ini, saya jadi semacam terobsesi, barangkali. Terobsesi dengan pikiran-pikiran ini. Pikiran tentang masa lalu. Padahal, pikiran ini mungkin tidak memberikan dampak besar lagi terhadap kehidupan yang saya punya sekarang. 

Untuk keluar dari preoccupied mind, kita bisa menghitung berapa persen hal yang kita pikirkan akan berdampak pada kehidupan masa kini. Lagi-lagi harus balik ke self-awareness. Kadang kita perlu lihat bagaimana cara kita menghabiskan energi yang kita miliki? Apakah energi tersebut kita habiskan untuk sesuatu yang punya dampak terhadap kehidupan saat ini dan masa depan?

Nah, setelah evaluasi hal tersebut, kita bisa memindahkan penggunaan energi, untuk hal-hal yang masih relevan dengan kehidupan kita sekarang.

Saya rasa, meditasi juga akan membantu untuk keluar dari preoccupied mind. Meditasi bisa melatih diri kita untuk hadir dalam situasi saat ini. Untungnya sekarang sudah banyak ya latihan meditasi secara online, jadi bisa latihan di rumah saja.

__

Saya rasa 6 poin itu adalah poin-poin besar yang bisa saya rangkum dari sesi terakhir terapi yang saya jalani. Ada satu poin lain yang akan saya ceritakan dalam cerita berikutnya. Juga ada beberapa poin yang terlalu personal untuk dibagikan. Kelihatannya seperti banyak teori ya. Banyak istilah. Entah kenapa, ketika sesuatu itu punya nama, rasanya saya jadi punya kuasa akan hal tersebut.

Misalnya setelah saya tau tentang realisasi dan sadar bahwa saya sering menggunakannya, saya jadi semacam punya kendali atas diri. Seperti bisa bicara dengan diri sendiri, "Hey, kamu lagi realisasi nih. Ayo coba bikin realisasi ini keluar sebagai bentuk yang lebih sehat".

Melalui terapi, saya juga jadi lebih sadar tentang kejadian di masa lalu yang memengaruhi cara saya bereaksi atas suatu hal atau cara saya mengambil keputusan. Saya ingin sekali bisa menjadi orang yang bereaksi terhadap suatu hal atas dasar cinta, bukan atas dasar luka.

Ini meskipun sudah tau sedikit tentang ini semua dan sudah menjalani terapi, saya yakin masih banyak yang saya belum paham. Poin-poin di atas aja saya belum handal menggunakannya. Bahkan bisa dibilang proses ini baru saja dimulai. 

Kalau ada kesempatan seperti punya waktu, uang, dan energi untuk bisa terapi, saya sangat merekomendasikan terapi sebagai salah satu investasi yang bisa kita berikan ke diri sendiri dan juga ke orang-orang terdekat kita. Kalau kesempatan itu belum ada, ngga papa, kita ngga pernah sendirian kok. Pasti ada jalan untuk belajar ini dan pasti ada orang yang sungguh peduli dengan diri kita. We have to find them and be that person for people we love.

Lagi-lagi, mohon maaf tulisannya campur Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Pikiran saya masih belum bisa full Bahasa Indonesia atau full Bahasa Inggris. Hehe. Semoga bermanfaat.


Salam sayang,

Diny

Menyerah dan Kembali Bernapas

Menyerah dan Kembali Bernapas

December 25, 2020

Saya sudah menjalani psikoterapi on/off sekitar satu setengah tahun terakhir. On/off artinya saya datang kalau butuh saja, tidak ada jadwal rutin. Saya belajar banyak sekali dari proses ini, yang mungkin bisa bermanfaat buat pembaca sekalian.

Trigger warning: tulisan ini dapat memicu emosi pembaca karena mengandung tulisan eksplisit, depresif, suicidal, dan penyakit kejiwaan. 

Barangkali seperti ini rasanya waktu itu. Ngga jelas jalan di depan tetapi saya yakin kalau ada jalannya.

Pertemuan pertama dengan konsuler

Jujur, waktu pertama kali cari bantuan profesional, rasanya saya malu sekali. Waktu itu, saya selalu merasa masalah yang saya alami tidak terlalu besar. Saya juga merasa masih cukup kuat untuk menghadapinya. Saya malu karena merasa butuh bantuan profesional. Kok seperti lemah sekali ya? Kok ngga bisa mengatasi sendiri? Kok cerita dengan orang-orang terpercaya tetap terasa kurang? Banyak pikiran-pikiran sejenis itu yang lewat di kepala saya waktu itu.

Namun, saat itu orang-orang terdekat saya, memberikan dukungan yang sangat berarti. Mereka bantu memeriksa apakah saya beneran sudah daftar atau buat janji ke terapis, atau saya akhirnya mundur lagi. Langkah awal yang cukup berat. Saya tidak punya contoh teman atau orang terdekat yang sedang rutin pergi ke terapis. Ditambah lagi, pergi ke bantuan profesional terasa seperti memvalidasi bahwa masalah saya sudah di ujung tanduk dan saya tidak suka dengan kenyataan itu.

Setelah maju mundur, akhirnya saya tetap lanjut daftar, buat janji dengan konsuler, dan datang ke sesinya. Pertemuan pertama dan kedua rasanya ngga ada pengaruh apa-apa. Sesi satu jam isinya cuma cerita sambil menangis. Mana ceritanya pakai bahasa inggris lagi kan, rada ribet. Waktu itu masih kuliah di luar negeri soalnya, konselornya orang US semua (ya iyalah haha). 

Karena waktu itu cuma cerita sambil nangis jadinya ngga menyelesaikan apa-apa dan ngga ada kemajuan yang berarti. Ditambah lagi, selama masa perkuliahan, target utama saya adalah bisa lulus. Oleh karena itu, saya sebisa mungkin menghindari memproses permasalahan mental yang saya yakin akan membutuhkan banyak energi. Saya tidak punya kapasitas itu pada saat itu. Akhirnya saya selalu menghindar dari masalah atau emosi yang saya rasakan.

Keinginan mengakhiri kehidupan

Habis pulang ke Indonesia, saya beberapa kali kembali mengalami anxiety attack, terutama saat ada trigger-trigger besar. Anxiety attack itu bentuknya seperti napas cepat, keringetan, jantung berdebar sangat cepat, pusing, badan gemetar, sulit napas, dan lama-lama kesemutan atau keram.

Trigger-trigger kecil rasanya juga luar biasa. Eh, ngga tau ya, kayaknya seluruh Jakarta adalah trigger besar deh. Hahaha pusing deh. Lihat kereta, lihat perpustakaan, kemeja, boneka, hewan tertentu, sudut tertentu di tempat tertentu, berbagai jenis makanan, bau tertentu, sampai lihat hot chocolate, semuanya jadi pemicu. Ada beberapa kata tertentu yang kalau terdengar di momen apapun, rasanya punya efek yang besar sekali.

Ketika melihat, merasakan, atau mengalami pemicu tersebut, rasanya jantung saya berdebar-debar, napas lebih cepat, badan dari ujung kaki hingga kepala rasanya panas. Bisa dibilang overwhelm atau distress, tapi ngga selalu berakhir dengan anxiety attack. Dan ini frekuensinya cukup sering karena seluruh sudut Jakarta adalah trigger. Hahaha. Kasihan sih kalau ingat Diny di masa-masa itu.

Saya akhirnya benar-benar niat mau ke psikolog atau psikiater. Terutama setelah saya sudah suicidal atau berpikir, mempertimbangkan dan merencanakan kematian. Sebelumnya sudah sering sih mikir begitu, tapi sebelumnya belum pernah benar-benar memikirkan cara mengakhiri kehidupan. Sampai pada suatu hari, ada trigger besar dan saya langsung mikir 'This is it, I cannot handle this. It is too painful'. Waktu saya sudah mikir mau pegang pisau untuk bunuh diri. Setelah mengalami itu, saya benar-benar yakin kalau saya butuh bantuan profesional.

Waktu itu rasanya gimana ya.. Saya ngga punya lagi alasan untuk hidup atau bangun tidur setiap harinya. Seluruh badan rasanya sakit dan sepertinya lebih mudah mengakhiri kehidupan daripada menjalaninya. Satu-satunya yang membuat saya belum bunuh diri adalah pikiran soal keluarga. Mereka pasti akan sedih, depresi, atau merasa bersalah dengan keputusan pribadi saya itu.

Jakarta dan segala pemicu di dalamnya.
Menyerah

Di masa-masa itu, saya menyerah lalu memutuskan untuk mencari bantuan profesional. Saya daftar ke 6 lembaga bantuan psikiater atau psikolog. Akhirnya ada 2 yang saya datangi yaitu dua lembaga yang kebetulan punya jadwal terdekat. Satu psikolog dan satu psikiater. Dalam perjalannya, ternyata saya lebih cocok dengan psikiater yang saya kunjungi daripada dengan psikolog. Ini persoalan selera atau kecocokan saja, sepertinya.

Sesi bersama psikiater sangat membantu saya memproses apa yang saya alami dan rasakan. I was clueless and didn't understand what was just happened in my life. Pada sesi-sesi awal ini, fokus dari terapi bukan untuk mengobati tapi lebih ke membantu memahami apa yang sedang terjadi.

Ternyata pikiran suicidal itu relatif umum karena banyak orang yang mengalaminya. Tentu saja kondisi ini harus segera ditangani agar tidak berlarut-larut. Lalu, meskipun rasanya dunia sudah runtuh dan saya sudah yakin kalau saya ini sedang depresi, ternyata saya tidak depresi. Waktu itu dokter mengatakan, kalau dalam bahasa inggris ada depressed dan depression. Nah, saya lebih ke depressed dibandingkan depression. Ini benar-benar membuat saya yakin kalau kita ngga bisa tuh mendiagnosa diri sendiri. Meski kalau pun saya mengidap depression, saya yakin saya berada dalam jalur yang tepat dengan membantu diri sendiri melalui bantuan profesional.

Bernapas

Proses terapi yang saya jalani pada akhirnya menjadi semacam life changing process, yang sangat saya syukuri. Saya beberapa kali berbagi cerita dengan teman-teman maupun di media sosial. Buat saya, pergi terapi adalah investasi yang sangat berharga. Saya belajar tentang diri saya sendiri, tentang masa lalu, tentang teknik-teknik praktikal yang bisa digunakan sehari-hari. 

Cerita ini bukan bermaksud untuk glorifying atau memuliakan kejadian di masa lalu atau penyakit kejiwaan yang saya alami. Tulisan ini saya tujukan buat teman-teman yang mungkin sedang mengalami masa-masa sulit saat ini. Kamu tidak sendirian. Everybody is just as lost and scared as you are. There's always a way to find the light, you just have to keep swimming. Keep believe in yourself that it all bearable and this too shall pass.

Saya bisa menuliskan ini, tentunya karena saya sudah tidak berada pada situasi yang berbahaya secara kejiwaan. Tulisan ini juga bukan bermaksud untuk menyudutkan atau menyalahkan pihak tertentu, karena memang ngga ada yang salah. Ini bagian dari proses kehidupan saya, yang mau ngga mau harus dilewatin. Situasi mental yang berat seperti ini juga bisa dialami oleh siapapun dan disebabkan oleh berbagai kondisi, tapi saya selalu berharap hal ini ngga terjadi di kehidupan kamu. Semoga belajar dari kehidupan orang lain bisa menjadi ruang tumbuh agar kita semua bisa menjadi manusia yang lebih baik.  

Pada blog post berikutnya, saya akan cerita beberapa tools atau pelajaran yang saya pelajari dari proses psikoterapi yang saya jalani. 

Terima kasih sudah mampir. Semoga bermanfaat dan tetap semangat!


with love,

Diny

Ikutan Tantangan Membaca Buku #BeresinTBR

Ikutan Tantangan Membaca Buku #BeresinTBR

November 14, 2020

Halo halo!

Apa kabar? Semoga selalu sehat yaa.

Kemarin, seorang teman bernama Raafi sempat berbagi tentang tantangan #BeresinTBR. Awalnya saya sempat bingung, TBR itu apa? Maklum, belum pernah baca-baca soal 'membaca buku' jadi ngga kenal dengan istilah-istilahnya.

Ternyata, TBR adalah To Be Read. Sebuah daftar buku yang ingin dibaca.

#BeresinTBR sendiri adalah sebuah tantangan membaca buku yang digagas oleh Ikram (@gildedwolvs). Ikram punya tumpukan buku yang belum selesai dia baca. Lalu Ikram menantang dirinya sendiri dan mengajak semuanya untuk ikutan #BeresinTBR. Tantangan #BeresinTBR fokus untuk menghabiskan bacaan yang sudah sejak lama ingin dibaca, tapi belum sempat atau belum selesai dibaca. Kamu bisa membaca penjelasan lebih lanjut soal #BeresinTBR di notion yang dibuat Ikram.

Nah, menyambut tahun baru 2021, saya jadi tertarik untuk ikutan tantangan #BeresinTBR. Saya memilih beberapa buku yang sudah ada di lemari buku tapi belum sempat dibaca terus. Beberapa buku juga sudah ada yang mulai dibaca, tapi belum selesai.

Target #BeresinTBR Diny:

  • Membaca buku fisik yang belum sempat dibaca. Total 4 buku fisik.
  • Membaca buku fisik yang belum selesai dibaca. Total 1 ebook dan 3 buku fisik.
Daftar buku:
  1. Atomic Habits: An Easy & Proven Way to Build Good Habits & Break Bad Ones. Buku genre self-help karya James Clear.
  2. Nonviolent Communication. Buku genre self-help karya Marshall Rosenberg.
  3. Sewindu di Jogja. Buku genre non-fiction karya Alam S. Anggara.
  4. Do Unto Animals. Buku genre non-fiction, karya Tracey Stewart.
  5. The Story of Life - Evolution. Buku genre non-fiction, karya Katie Scott dan Fiona Munro.
  6. Why We Sleep. Buku genre science, karya Matthew Walker.
  7. The Field-Book of a Jungle-Wallah. Buku genre history, karya Charles Hose.
  8. The Lost Words. Buku genre poetry, karya Robert Macfarlane.
Total ada 8 buku yang ingin saya selesaikan hingga akhir 2020.

Kalau sedang sempat, mungkin saya akan mengulasnya di blog ini atau di goodreads. Mungkin. Belum pasti yaa. Kalau sempat saja. Hahaha.

Semoga saya berhasil menyelesaikan tantangan #BeresinTBR.

Semangat!

Adaptasi atau Mati

Adaptasi atau Mati

November 03, 2020

Saya saat sedang pusing memutuskan membeli tanaman jenis baru atau berkompromi dengan keadaan

Sudah dua bulan terakhir saya tinggal di tempat tinggal yang baru. Tempat tinggal baru saya ini, relatif berbeda dengan tempat tinggal saya sebelumnya. 

Di tempat tinggal sebelumnya, ada bagian garasi yang tertutupi atap. Bagian rumah tersebut, saya jadikan tempat untuk berkebun. Dulu saya pikir, lokasi tersebut cocok sekali untuk tanaman yang habitat aslinya di lantai hutan. Tanaman yang suka kerindangan, tidak terkena air hujan langsung, serta relatif lembab.  Oleh karena itu, saya menanam tanaman-tanaman daun seperti calathea, monstera, dan berbagai tumbuhan lantai hutan lainnya. 

Tanaman saya pun cukup senang dengan kondisi tersebut. Mereka tumbuh dengan subur dan relatif cepat. Seorang penjual tanaman langganan saya bahkan memberikan komplemen karena saya berhasil menanam beberapa jenis tanaman dengan cantik dan tanpa ada bagian kering di tepi daunnya. 

Sayangnya, saya tidak bisa tinggal di sana lagi. Saya harus berpindah ke tempat tinggal baru. Tempat tinggal baru saya ini, relatif berbeda dengan tempat tinggal sebelumnya. Di sini, tidak ada garasi tertutup, sehingga tidak ada bagian yang selalu rindang. Bagian depan rumah, yang dapat saya jadikan tempat berkebun, ternyata selalu terkena sinar matahari sore. Udaranya pun relatif lebih kering dan panas. Kondisi yang tidak ideal untuk tanaman-tanaman yang saya punya.

Sebelum memutuskan pindah ke sini, jujur saya ngga yakin. Tanaman saya pasti ngga suka dengan kondisi itu. Dan saya pun awalnya kurang suka dengan semua perubahan yang ada ini. Namun saya pikir, yang namanya manusia dan tanaman pasti bisa beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang baru.

Beberapa pekan pertama di tempat baru, tanaman-tanaman saya 'ngambek' karena tidak suka dengan kondisi yang baru. Daun-daun mereka agak mengering dan tidak ada daun baru yang tumbuh. Saya berusaha berkompromi dengan situasi lalu berupaya membuat kondisi lingkungan yang lebih optimal untuk tanaman tersebut. Saya membeli tanaman baru yang punya daun besar. Tanaman berdaun besar ini bisa memberikan naungan terhadap tanaman saya yang lainnya. Saya juga harus lebih sering menyiram tanaman agar tanaman tersebut selalu lembab.

Bunga mawar yang lebih sering berbunga di tempat baru

Sebenarnya, kondisi lingkungan di tempat tinggal baru ini cocok sekali untuk tanaman bunga. Tanaman bunga relatif lebih memerlukan sinar matahari penuh serta banyak terkena air hujan. Kondisi yang sangat ideal. Saya jadi bertanya-tanya, apakah saya harus mengganti koleksi tanaman dengan tanaman yang cocok situasinya dengan situasi sekarang? Apakah saya harus mengganti banyak hal dengan sesuatu yang bisa tumbuh lebih optimal dengan kondisi yang baru?

Saya juga jadi menyadari beberapa hal. Ternyata, tanaman-tanaman dan juga saya, butuh waktu untuk bisa beradaptasi di tempat yang baru dengan kondisi yang baru. Ternyata, kalau kita berada di kondisi lingkungan yang optimal, kita bisa bertumbuh lebih cepat dan lebih subur, seperti tanaman daun saya di rumah lama dan tanaman bunga di rumah baru. Mereka punya kebutuhan yang berbeda. Bila memaksa untuk tumbuh di lingkungan yang sama, mungkin salah satunya tidak bisa berkembang dengan optimal.

Situasi ini membuat saya berpikir bahwa bisa jadi selama ini, kita tumbuh di kondisi lingkungan yang tidak terlalu ideal untuk kita sendiri. Oleh karena tumbuh di tempat yang tidak ideal, kita butuh banyak berkompromi, dengan menciptakan kerindangan-kerindangan yang dibutuhkan. Namun ketika kita berada di kondisi yang cukup ideal dan cocok dengan kebutuhan yang kita miliki, mungkin kita bisa tumbuh lebih subur tanpa usaha yang berarti. Tumbuh dengan lebih cepat, lebih rindang, lebih sering berbunga, dan lebih berbahagia.

Sedikit banyak, kita punya kuasa untuk memilih kondisi mana yang kita inginkan dalam hidup kita. Bahkan jika situasi tidak ideal, lalu hidup sudah memilihkan jalan untuk kita, ya tidak ada salahnya untuk terus berusaha beradaptasi.

Manusia makhluk yang mudah beradaptasi. Kita punya kekuatan untuk bisa memilih dan menjalani pilihan dengan sepenuh hati.

Selamat bertumbuh.

A Year of Grief

A Year of Grief

April 13, 2020
Couple days before my birthday, I was wondering.. How it feels like to have a birthday alone at home? I think I've always had some kind of celebration on my birthday. I was never alone. A party, dinner, mid-night birthday surprise, birthday lunch, birthday sex, birthday trip, all sort of birthday celebrations.

This year, the pandemic happened. I have to stayed at home. Alone (still not sure if it is unfortunate or is a bliss).

At first I thought it will be miserable, but then I realised, I was not alone alone. All my loved ones are around. We were just happened to be not in a same place. I still can celebrate it in my own way in regard of any situation. So, on my birthday, I chose to be happy and grateful with the situations.

Apparently, celebrating birthday during quarantine still felt so lovely with all the sweet messages, phone calls, and gifts from my love ones.

Feeling loved and content on my 29th birthday :)

I spent some time to reflect on what I've learned in the past year. A day before my birthday last year, I submitted my thesis. Afterwards, I defended the thesis, got it published. Graduated. I went to Alaska and California to celebrate it. Then, I came back to Jakarta, started working in an NGO. Going back from Flagstaff to Jakarta was difficult. It took sometime to readjust and feel comfortable again with the new routines.

I also worked on plenty of big problems that I have been dealing with for sometime. It was one of the hardest phase in my life, if not the second hardest after the 27th years old. There were times where I didn't want to exist. I didn't want to wake up in the morning and start the day. I wished I never wake up. There were times when I wished I can disappear and never come back.  I wished I can declutter my self. I kept having these voices telling me it wasn't even worth-it to stay alive. Why should I stay alive?

"Try to survive until tomorrow, ok? Tomorrow you can give up, but not today.", I said that many times to myself.

People said: try to workout, eat healthy, drink more water, get a better sleep, reduce alcohol/caffein/sugar consumption, write journal, go seek professional helps, etc, etc, etc. Most people who said those, was never in my shoes. They probably didn't understand how much it hurts, but they were and are always around. No matter how messy I was. I thought, if I couldn't find reasons to stay alive for me, I would try my best to stay alive for them.

With small amount of energy, I managed to showed up in all difficult conversations and decisions. It was hurtful and painful. It wasn't easy ride at all. I still don't know how could I survive?

I started working out like crazy, heard that it will produce dopamine and serotonin. Reduce the pain and anxiety. Not to mention, I can run away from my own thoughts. Well, after couple of months, I can see the result on my body physically, which make me think that things can get better. It just takes time and energy. And I started to enjoy the workout more than just as a distraction. I went climbing and dancing. I met a lot of new friends. I invested my heart, time, and energy for people who loves me. It all makes me happy. It makes me think that life is still worthwhile. 

I seek professional help to assist me processing the emotions and getting through the flood of thoughts. It works. It is helpful because I learned to accept my vulnerable sides and be okay with it. You probably know me as a happy go lucky person. I am, but there were times when I fake those smiles while breaking down inside. It was really weird. With the professional help, I know how to be unhappy and let out feelings. Let them come and go. I am learning to respecting my own feelings and be real.

I moved back to the house of my dream. For couple months, I run away from all the triggers. I started to fill up my schedule in every possible ways. So, I don't have to be at home. For many months I didn't want to be alone because I didn't want to be with my self, deal with all the triggers and thought of painful moments. 

A quarantined selfie.

Then, the COVID19 happened. I have to stay at home. I can't run away. All the triggers shot me so many times. I can't go away. So, I've spent this month to be friend with the triggers. Who are you? What do you want? What can I do for you? It's been kind of fun to be able to get through these.

You know, I probably not the same person as I was a year ago. I changed so much and yet stay the same in a weird combination. Although it wasn't easy, I kind of enjoying the process. I'll take it easy and see how it goes.

Now, I am 29 years old. Next year I will enter a new decade. Sometimes, I wonder, what kind of woman I want to be in the next decade? I will think about it next year. Hahaa.

Anyway, thank you for all the love. You probably don't realised how much it means to me. I hope you believe me when I said I am grateful to have you in my life. You keep me alive. Thank you, thank you, and thank you.


With all the love,

Diny

Belajar Memanjat

Belajar Memanjat

April 11, 2020
Sewaktu manjat di Gunung Parang


Mumpung lagi akhir pekan di tengah-tengah masa karantina, saya mau cerita sedikit tentang hobi baru yang lagi saya gandrungi pas banget beberapa bulan sebelum COVID19 merajalela.

Sejak bulan Januari tahun ini, saya mencoba latihan manjat. Manjat sebenarnya bukan hal baru yang belum pernah saya lakukan. Dulu banget waktu SMA saya pernah latihan manjat, karena waktu itu ikutan grup pecinta alam. Terus, akhir tahun lalu, saya juga sempat manjat via ferrata di Gunung Parang (pernah saya ceritain di Instagram).

Nah, kebetulan ada tempat climbing gym baru yang indoor dan ada pelatihnya. Dekat dan mudah diakses lagi, di daerah Sudirman. Dekat sekali sama tempat saya berolahraga.

Tempat latihan manjat baru ini namanya Indoclimb. Manjat di Indoclimb seru banget! Kita bisa ikutan kelas yang dipandu oleh pelatih-pelatih yang komunikatif dan seru. Mereka akan mengajarkan gimana caranya pegang poin, kaki dan tangan mesti kemana, posisi badan mesti gimana, termasuk mengajarkan cara jatuh.




Walau ngga bisa atau belum pernah sama sekali, nanti akan diajarin sama pelatih-pelatihnya. Saya pun sudah lupa cara manjat, jadi ya mengulang dari awal belajarnya. Senang banget bisa latihan lagi, ketemu teman-teman baru, ketemu teman-teman lama, sambil manjat dan seru-seruan.

Di Indoclimb, saya latihan bouldering, yaitu manjat yang ngga pakai tali. Maksimal ketinggian 3,5 - 4 meter. Walau ngga pakai tali, tapi tetep aman kok karena ada matras di bawahnya. Di Indoclimb, bisa bayar per kedatangan dan bisa sewa alat di sana. Pokoknya bisa tinggal datang aja. Meskipun kadang ramai banget ya, jadi mesti booking slot dulu. Bisa juga ikutan membership kalau mau datang kapan aja dan sebanyak apapun yang kamu mau.

Setelah manjat seminggu sekali selama hampir 2 bulan, saya lumayan agak bisa. Ok, mungkin bukan bisa, tapi lebih nyaman (apaan sih manjat aja pakai nyaman hahaha).

Ada satu hal yang buat saya sangat menarik. Selama manjat ini, saya semakin sadar kalau saya itu takut jatuh. Saya ngga suka jatuh. I don't feel safe and I don't want to fall. Meskipun tentunya saya tau di bawah ada matras, saya sudah tau cara jatuh, dan ada orang-orang di sekitar yang bisa bantuin kalau pun saya cidera. It will be okay, it will be just fine. 

Waktu bisa manjat dan jatuh pada jalur ini.

Tapi.. Ketakutan itu tetap ada di otak saya. Saya tau sih kalau it is totally fine, it is okay to feel afraid. Seperti di kehidupan sehari-hari ya. Kadang kita takut sesuatu, padahal mungkin ketakutan itu bukan hal yang nyata. Mungkin ketakutannya hanya ada di otak kita karena kita ngga terbiasa dengan rasa yang baru. Tetap saja, saya takut. It is what it is.

Sekarang tinggal gimana caranya mengatasi ketakutan yang saya punya. Dalam hal ini, sepertinya rasa ketakutan bisa berkurang kalau saya melakukannya terus menerus. Belajar jatuh terus-terusan. Belajar mengatasi rasa ketakutan dengan cara menghadapinya dengan gagah berani. Mungkin lama-lama saya jadi tau bahwa.. it is okay to fall. I just have to trust my self a little bit more, that I will be okay and I will be safe.

Ya pelan-pelan aja.

Semoga pandemi ini segera berakhir,  saya mau latihan jatuh!


xoxo,

Diny

The important things

The important things

February 19, 2020
Suryakencana, September 2019. Sebuah perjalanan yang penuh dengan refleksi diri.

Hari itu hari minggu, ketika saya mulai menulis cerita ini. Selepas bangun tidur, saya langsung membuka jendela dan membereskan tempat tidur, selimut, bantal, guling, dan sebuah boneka panda kecil yang selalu menemani saya tidur beberapa bulan terakhir. Keluar kamar, saya menuju ruang kerja di sebelah kamar, kemudian saya mengganti pakaian tidur dengan pakaian santai. Lalu saya ke pasar, membeli bahan makanan dan sayuran. Masak untuk seminggu ke depan. Menyapu dan mengepel lantai, mencuci, menjemur, dan menggosok pakaian. Semua hal yang tidak saya lakukan dengan suka cita tiga tahun lalu.

Kadang-kadang saya berpikir, apakah semua perubahan relatif positif yang telah terjadi, hanyalah bentuk pembuktian diri yang entah untuk apa atau untuk siapa? Tapi saya ngga mau lagi mendelegitimasi diri sendiri dengan cara tidak menghargai kemajuan diri atau tidak memberikan kredit yang sewajarnya kepada diri sendiri.

Tentu saja, banyak hal yang berubah. Segala perubahan yang terjadi barang kali bentuk saya merespon hal-hal yang terjadi dalam kehidupan. Meskipun perubahan itu kadang terasa menyeramkan, I know will always have my self. I will be the best version of me for myself so I can serve others for greater goods, because there's no other way to survive or live this world (I guessed?).

Selama setahun terakhir, saya banyak belajar soal diri sendiri, hubungan dengan orang lain, maupun bagaimana menjalani kehidupan. Ada beberapa hal utama yang paling menarik buat saya. Mungkin pembelajaran yang saya ambil bisa juga bermanfaat untuk kamu.

***

Love languages.

Menurut Gary Chapman, ada lima cara komunikasi (bahasa) yang biasa kita gunakan untuk mengekspresikan rasa sayang. Lima bentuk bahasa itu adalah act of service, words of affection, receiving gift, quality of time, dan physical touch.  Kita bisa saja menggunakan beberapa bahasa, namun biasanya ada bahasa yang paling dominan. Kamu bisa baca lebih detail di website ini.

Buat saya, bagian penting dari mengenali bahasa cinta adalah untuk memahami apa yang saya butuhkan dan mengkomunikasikannya dengan pasangan. Lalu, berusaha memahami apa bahasa cinta pasangan saya untuk menyesuaikan perilaku saya dan memenuhi kebutuhan dia. Remember, the only thing we can control is ourselves. We can't expect our partner to read our minds or know our needs without us telling them those things. It is all about communication.

Apakah pasangan yang memiliki bahasa cinta yang sama atau pasangan yang saling mengerti bahasa cinta, akan memiliki hubungan yang lebih bahagia? Ternyata tidak. Kebahagiaan suatu hubungan tidak tergantung dari kesamaan bahasa. You can have the same language but still unhappy with your relationship or the other way around. 

Namun, memahami adanya perbedaan bahasa membuat kita bisa melihat perbedaan secara lebih utuh dan belajar merespon perbedaan hal itu. Perbedaan adalah hal yang sangat normal. Malah kalau bahasanya berbeda, kita bisa merayakan perbedaan itu yang justru bisa membuat hubungan lebih menarik.

Non-violent communication.

Sering kali, ketika saya sedang marah, ingin rasanya menumpahkan semua kemarahan tersebut. Hingga saya tidak sadar kalau kata-kata yang saya sampaikan bisa melukai hati orang lain. Pada buku non-violent communication, saya belajar bahwa kita bisa menyampaikan apa yang kita rasakan atau pikirkan tanpa menyakiti hati orang lain. Non-violent communication is a language of compassion.

Ada empat komponen utama dalam non-violent communication: observations, feelings, needs, dan request. Intinya, berusaha melihat suatu hal tanpa menganalisis atau menghakimi, mengidentifikasi apa yang kita rasakan dan inginkan, lalu mengkomunikasikan hal-hal tersebut. Balik lagi, we can only control ourselves and the most important thing is communication. Misalnya, daripada bilang, "kamu ngga sopan deh", kita bisa mengatakan hal yang lebih spesifik dan fokus ke yang kita rasakan misalnya, "waktu aku lihat kamu masuk, aku ngga dengar kamu bilang halo ke aku". Spesifik dan bisa diukur. Ini bisa membantu pasangan kita memahami apa yang kita rasakan tanpa merasa dituduh atau dihakimi.

Buat saya ini agak susah, apalagi kadang ego yang tinggi membuat saya merasa benar sendiri tanpa melihat semuanya dengan lebih utuh. Ada seorang teman saya yang sudah lumayan fasih menggunakan bahasa ini. Saya belajar banyak dari dia dan berusaha mengaplikasikannya ke dalam hubungan saya sehari-hari dengan orang-orang terdekat. Ternyata komunikasi dengan orang lain akan lebih mudah kalau saya mau belajar komunikasi tanpa mengedepankan ego dan tanpa kekerasan. Ternyata membicarakan hal-hal yang berat bisa dilakukan tanpa saling menyakiti satu sama lain. Sebuah pembelajaran yang sangat menarik selama setahun terakhir ini.

Semburat sore yang cantik terlihat dari kamar kosan di Flagstaff. Pemandangan di sela-sela membaca buku non-violent communication.


Tanggung jawab kebahagiaan.

Kebahagiaan itu tanggung jawab diri kita masing-masing. Hanya kitalah yang bisa membuat diri kita bahagia. Bertanggung jawab dengan kebahagiaan diri sendiri adalah dengan tidak menyalahkan orang lain atas ketidak bahagiaan yang kita miliki. We can't ask other people to make us happy. Other people can only add happiness that's already within us. So, it is not really fair to ask your partner to keep making you happy all the time, because eventually they will make mistakes and they won't be able to fulfil your needs.

Ini jadi perjalanan menarik buat saya, karena saya sempat menjadikan pasangan saya sumber kebahagiaan yang paling utama. Artinya, tanpa saya sadari, I often 'asking' him to fulfils my happiness tank which was not fair for both of us. Saya rasa ini juga ada hubungannya dengan gaya keterikatan saya (attachment styles) dengan pasangan, yang saya bahas di bawah.

Dalam perjalanannya, saya sadar bahwa kebahagiaan itu adalah persoalan saat ini. Kalau saya masih berpikir, "saya akan bahagia kalau.." atau "saya akan bahagia ketika..", saya ngga akan pernah bahagia. Saat 'kalau' dan 'ketika'-nya sudah tercapai, akan ada lagi masalah baru dan begitu aja terus mutar-mutar tanpa pernah bahagia. Ternyata, kebahagiaan adalah persoalan bagaimana kita melihat suatu hal saat ini dan hanya bisa dicapai kalau kita memiliki hubungan yang baik dan sehat dengan diri sendiri.

Well, OK, to be fair, kebahagiaan tidak sepenuhnya berada dalam kendali kita. Ada faktor lain seperti kejadian yang terjadi pada kehidupan dan faktor genetik. Namun, dua faktor itu tidak bisa kita kontrol. Balik lagi, yang bisa kita kontrol hanyalah diri kita sendiri, apa yang kita pikirkan dan apa yang kita lakukan. Ini ada artikel menarik tentang kebahagiaan yang saya rasa cukup penting untuk dibaca.

Attachment styles.

Menurut teori, ada empat bentuk keterikatan kita dengan orang lain: secure, anxious, avoidance, dan anxious-avoidance. Bentuk keterikatan ini umumnya dipengaruhi dari bentuk hubungan kita di masa kecil dengan orang tua kita. Ini ada video yang sangat membantu saya mengerti teori ini, walaupun belum bisa menjelaskannya ulang dengan bahasa saya sendiri. Silakan saksikan videonya.

Berdasarkan video itu dan beberapa artikel lain (ini dan ini contohnya) yang menjelaskan bentuk keterikatan, saya sedang bekerja untuk memperbaiki bentuk keterikatan yang saya punya. Tujuan saya adalah menjadi secure adults yang bisa memiliki hubungan yang lebih sehat dengan pasangan maupun dengan orang-orang di sekitar saya.

Memaafkan diri sendiri. 

Apapun yang pernah terjadi dalam hidup, jangan pernah lupa kalau kita hanyalah manusia. Tempatnya berbuat kesalahan. Banyak hal yang saya harap tidak pernah saya lakukan. Apapun itu, what's been done cannot be undone. I can't change the past, no matter how much I want to. I am trying to believe that I did everything I could with all knowledges and skills I had those time. So, I can forgive myself for not knowing the better way, for feeling like a failure even tho I wasn't, and for feeling not enough because I was and am more than just enough. 

The journey of forgiving self was started when I acknowledged and owned my mistakes. Afterwards, I am able to gradually release what's hurts. Hopefully one day I will only keep things I've learned and let go everything else. Ini perjalanan panjang yang saya yakin akan bolak-balik lagi untuk dipelajari sepanjang hidup.

Willingness to make things work. 

Hubungan jangka panjang adalah sebuah maraton. Semua yang saya sebutkan di atas, ngga akan ada gunanya kalau sudah tidak ada kemauan untuk memperbaiki keadaan. Sometimes, people changed and they want different things. That is alright. People choose things they wanna choose. Love is a choice we choose everyday. Will you choose to make things work or no? Atau bisa jadi, memang situasinya sudah terlalu kacau balau untuk bisa dirapikan? Hanya diri kita sendiri yang bisa menjawabnya. Tidak ada jawaban yang salah atau benar. Apapun jawabannya, pasti ada konsekuensinya.

Buat saya, sekarang tinggal bagaimana saya menjalani konsekuensi dari pilihan yang saya ambil. I really really hope it all worth it. Or maybe I already feel like it all worth it? Who knows? I will give more time to answer the questions.

***

Adult life is challenging. Nobody has it all. Nobody knows for sure if things they chose is right or wrong. Nobody. But I know one thing: every body wants to be happy. I will try to forgive others, forgive the universe, and most importantly forgive myself. And keep learning and swimming and enjoying life while it last.

Kalau dipikir-pikir, ini semua tuh hal dasar banget deh. Saya baru belajar setahun terakhir ini. Untungnya tidak ada kata terlambat untuk belajar ya. Semoga ke depannya, saya, kamu, dan kita semua bisa jadi orang yang lebih baik lagi.

Panjang juga ini tulisannya. Mohon maaf bahasanya campur-campur dan terima kasih sudah membaca. Semoga harimu menyenangkan!


Salam hangat,
Diny

What I learned from a 5 years of marriage

What I learned from a 5 years of marriage

January 05, 2020


Disclaimer: I wrote it on August, 2019. I wrote it based on my experiences. Definitely, it won't be the same with your experiences and not applied to all marriage.

OK, let's now talk about the happy and the most important parts.

Firstly, the most important thing I learned was.. I was able to love unconditionally. I am happy I can identify it! Apparently, I could love my partner without IF, without reason. I just did. I loved him even when I hated him. I loved him without requirement. He didn't have to do certain thing to be loved by me. I loved him freely without hesitation. I was not only love the idea of him. I loved him as a whole package.

It was a great thing, to be able to love someone unconditionally. You have to be brave, like super duper brave because to love someone without certain condition means you are allowing yourself to be vulnerable.

Maybe, I was able to do that because I know how it feels to be loved as a whole, from my family. I feel complete because I know exactly they will love me and accept me for whoever I am. So, it is easier for me to give the same kind of love to my partner or to other people that I care. I think not everyone has this privilege and able to do this to others. I am grateful I can do it and this is a cool thing for me.

Although, loving unconditionally is tricky. For me, loving unconditionally doesn't mean we don't need to make improvements in our life. Improvement here and there are still needed but even if he didn't or if he was on a really bad situation, I can still love him.

There is no greater feeling than love someone who loves you back. It is the biggest gift and if that person (who loves you) is your life partner, than it is even greater. I felt safe and sound. I am thankful for those moments in my life.

Secondly, little things are very important. Those socks that I left on the living room or wet towel on the chair, whooa! Those could be big big problems. Hahahaha! I was not a really tidy-neaty-cleany person at all. Before I got married, I didn't even know how to wipe the floor. Being married was learning to challenge my self to learned one of the most important thing in this whole world: clean up your mess.

It might sounds easy for some people, but it was hard for me. When I experienced it daily, I knew it can be a bomb ready to explode anytime. Especially, because my partner had different level of tidiness and cleanness. Now, I wasn't the same person as I was 5 years ago. I can clean my 'shit' now hahaha. Five years ago, I never thought I could be this clean, but I learned it in a hard way. Sometimes I thought I should have be faster to learned about it, but whatever. It was what it was, that's all I got. I am what I am now and current version of me is what I have right now, not the me version back then.

Thirdly, maintaining energy is crucial. I was working, he was working. We woke up early on weekday then went to work. When we were home, we both already tired and lack of energy. Those made us more sensitive. Sometimes I thought we present our best self at the office, not at home, which was not a great idea. In addition, me and him is a complete opposite, on everything, literally everything. It was somehow exhausting to keep up with each other, as we have very very different personalities.

With the right amount of energy, I might have more power to not take my partner for granted and not take myself for granted. Yes, I loved him unconditionally, but love is verb, is a daily work. It was a daily choice whether or not I would work on it. If I didn't have energy, it would be harder to see good things from the relationship.

Lastly, conflict is inevitable. Marriage is two different people in one big commitment. Expecting a no-conflict zone is dangerous. No matter how great my relationship was with him, we would always have conflicts. In marriage, the conflict can be about the same lil problem that repeated all the time, because we didn't solve the roots of the problems. Or, it could be a big one, that I never thought it could happen in a real life. I thought drama life is only happened on the television, silly me. Now, I have learned on languages of love, non-violent communication, compassion to others, how to be agree-to-disagree, that may be useful to manage conflicts, but well I don't know. There are a lot of things that I don't know and that is okay.

After 5 years of marriage, our relationship has grown differently than 10 years ago when we started dating. Of course there were plenty of ups and down. Whatever it was. I had a great time. I learned so many things from the marriage. I will cherished all of the great parts. Those are crucial for me and it will always be part of me. I am deeply thankful and grateful for the opportunities to learned and grown from this relationship.

To love is to be brave.

Thanks for reading! Have a great time with your love ones!


Diny

Search This Blog

Contact Form

Name

Email *

Message *