Menyerah dan Kembali Bernapas

Friday, December 25, 2020

Saya sudah menjalani psikoterapi on/off sekitar satu setengah tahun terakhir. On/off artinya saya datang kalau butuh saja, tidak ada jadwal rutin. Saya belajar banyak sekali dari proses ini, yang mungkin bisa bermanfaat buat pembaca sekalian.

Trigger warning: tulisan ini dapat memicu emosi pembaca karena mengandung tulisan eksplisit, depresif, suicidal, dan penyakit kejiwaan. 

Barangkali seperti ini rasanya waktu itu. Ngga jelas jalan di depan tetapi saya yakin kalau ada jalannya.

Pertemuan pertama dengan konsuler

Jujur, waktu pertama kali cari bantuan profesional, rasanya saya malu sekali. Waktu itu, saya selalu merasa masalah yang saya alami tidak terlalu besar. Saya juga merasa masih cukup kuat untuk menghadapinya. Saya malu karena merasa butuh bantuan profesional. Kok seperti lemah sekali ya? Kok ngga bisa mengatasi sendiri? Kok cerita dengan orang-orang terpercaya tetap terasa kurang? Banyak pikiran-pikiran sejenis itu yang lewat di kepala saya waktu itu.

Namun, saat itu orang-orang terdekat saya, memberikan dukungan yang sangat berarti. Mereka bantu memeriksa apakah saya beneran sudah daftar atau buat janji ke terapis, atau saya akhirnya mundur lagi. Langkah awal yang cukup berat. Saya tidak punya contoh teman atau orang terdekat yang sedang rutin pergi ke terapis. Ditambah lagi, pergi ke bantuan profesional terasa seperti memvalidasi bahwa masalah saya sudah di ujung tanduk dan saya tidak suka dengan kenyataan itu.

Setelah maju mundur, akhirnya saya tetap lanjut daftar, buat janji dengan konsuler, dan datang ke sesinya. Pertemuan pertama dan kedua rasanya ngga ada pengaruh apa-apa. Sesi satu jam isinya cuma cerita sambil menangis. Mana ceritanya pakai bahasa inggris lagi kan, rada ribet. Waktu itu masih kuliah di luar negeri soalnya, konselornya orang US semua (ya iyalah haha). 

Karena waktu itu cuma cerita sambil nangis jadinya ngga menyelesaikan apa-apa dan ngga ada kemajuan yang berarti. Ditambah lagi, selama masa perkuliahan, target utama saya adalah bisa lulus. Oleh karena itu, saya sebisa mungkin menghindari memproses permasalahan mental yang saya yakin akan membutuhkan banyak energi. Saya tidak punya kapasitas itu pada saat itu. Akhirnya saya selalu menghindar dari masalah atau emosi yang saya rasakan.

Keinginan mengakhiri kehidupan

Habis pulang ke Indonesia, saya beberapa kali kembali mengalami anxiety attack, terutama saat ada trigger-trigger besar. Anxiety attack itu bentuknya seperti napas cepat, keringetan, jantung berdebar sangat cepat, pusing, badan gemetar, sulit napas, dan lama-lama kesemutan atau keram.

Trigger-trigger kecil rasanya juga luar biasa. Eh, ngga tau ya, kayaknya seluruh Jakarta adalah trigger besar deh. Hahaha pusing deh. Lihat kereta, lihat perpustakaan, kemeja, boneka, hewan tertentu, sudut tertentu di tempat tertentu, berbagai jenis makanan, bau tertentu, sampai lihat hot chocolate, semuanya jadi pemicu. Ada beberapa kata tertentu yang kalau terdengar di momen apapun, rasanya punya efek yang besar sekali.

Ketika melihat, merasakan, atau mengalami pemicu tersebut, rasanya jantung saya berdebar-debar, napas lebih cepat, badan dari ujung kaki hingga kepala rasanya panas. Bisa dibilang overwhelm atau distress, tapi ngga selalu berakhir dengan anxiety attack. Dan ini frekuensinya cukup sering karena seluruh sudut Jakarta adalah trigger. Hahaha. Kasihan sih kalau ingat Diny di masa-masa itu.

Saya akhirnya benar-benar niat mau ke psikolog atau psikiater. Terutama setelah saya sudah suicidal atau berpikir, mempertimbangkan dan merencanakan kematian. Sebelumnya sudah sering sih mikir begitu, tapi sebelumnya belum pernah benar-benar memikirkan cara mengakhiri kehidupan. Sampai pada suatu hari, ada trigger besar dan saya langsung mikir 'This is it, I cannot handle this. It is too painful'. Waktu saya sudah mikir mau pegang pisau untuk bunuh diri. Setelah mengalami itu, saya benar-benar yakin kalau saya butuh bantuan profesional.

Waktu itu rasanya gimana ya.. Saya ngga punya lagi alasan untuk hidup atau bangun tidur setiap harinya. Seluruh badan rasanya sakit dan sepertinya lebih mudah mengakhiri kehidupan daripada menjalaninya. Satu-satunya yang membuat saya belum bunuh diri adalah pikiran soal keluarga. Mereka pasti akan sedih, depresi, atau merasa bersalah dengan keputusan pribadi saya itu.

Jakarta dan segala pemicu di dalamnya.
Menyerah

Di masa-masa itu, saya menyerah lalu memutuskan untuk mencari bantuan profesional. Saya daftar ke 6 lembaga bantuan psikiater atau psikolog. Akhirnya ada 2 yang saya datangi yaitu dua lembaga yang kebetulan punya jadwal terdekat. Satu psikolog dan satu psikiater. Dalam perjalannya, ternyata saya lebih cocok dengan psikiater yang saya kunjungi daripada dengan psikolog. Ini persoalan selera atau kecocokan saja, sepertinya.

Sesi bersama psikiater sangat membantu saya memproses apa yang saya alami dan rasakan. I was clueless and didn't understand what was just happened in my life. Pada sesi-sesi awal ini, fokus dari terapi bukan untuk mengobati tapi lebih ke membantu memahami apa yang sedang terjadi.

Ternyata pikiran suicidal itu relatif umum karena banyak orang yang mengalaminya. Tentu saja kondisi ini harus segera ditangani agar tidak berlarut-larut. Lalu, meskipun rasanya dunia sudah runtuh dan saya sudah yakin kalau saya ini sedang depresi, ternyata saya tidak depresi. Waktu itu dokter mengatakan, kalau dalam bahasa inggris ada depressed dan depression. Nah, saya lebih ke depressed dibandingkan depression. Ini benar-benar membuat saya yakin kalau kita ngga bisa tuh mendiagnosa diri sendiri. Meski kalau pun saya mengidap depression, saya yakin saya berada dalam jalur yang tepat dengan membantu diri sendiri melalui bantuan profesional.

Bernapas

Proses terapi yang saya jalani pada akhirnya menjadi semacam life changing process, yang sangat saya syukuri. Saya beberapa kali berbagi cerita dengan teman-teman maupun di media sosial. Buat saya, pergi terapi adalah investasi yang sangat berharga. Saya belajar tentang diri saya sendiri, tentang masa lalu, tentang teknik-teknik praktikal yang bisa digunakan sehari-hari. 

Cerita ini bukan bermaksud untuk glorifying atau memuliakan kejadian di masa lalu atau penyakit kejiwaan yang saya alami. Tulisan ini saya tujukan buat teman-teman yang mungkin sedang mengalami masa-masa sulit saat ini. Kamu tidak sendirian. Everybody is just as lost and scared as you are. There's always a way to find the light, you just have to keep swimming. Keep believe in yourself that it all bearable and this too shall pass.

Saya bisa menuliskan ini, tentunya karena saya sudah tidak berada pada situasi yang berbahaya secara kejiwaan. Tulisan ini juga bukan bermaksud untuk menyudutkan atau menyalahkan pihak tertentu, karena memang ngga ada yang salah. Ini bagian dari proses kehidupan saya, yang mau ngga mau harus dilewatin. Situasi mental yang berat seperti ini juga bisa dialami oleh siapapun dan disebabkan oleh berbagai kondisi, tapi saya selalu berharap hal ini ngga terjadi di kehidupan kamu. Semoga belajar dari kehidupan orang lain bisa menjadi ruang tumbuh agar kita semua bisa menjadi manusia yang lebih baik.  

Pada blog post berikutnya, saya akan cerita beberapa tools atau pelajaran yang saya pelajari dari proses psikoterapi yang saya jalani. 

Terima kasih sudah mampir. Semoga bermanfaat dan tetap semangat!


with love,

Diny

2 comments

Search This Blog

Contact Form

Name

Email *

Message *