ulasan: buku Pulang karya Leila Chudori

Thursday, February 6, 2014

“Pulang adalah sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta, dan pengkhianatan berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah: Indonesia 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998.”

Begitu yang tertulis di sampul belakang buku ini. Tulisan yang baru saya baca di dalam angkutan kota menuju rumah, dalam perjalanan pulang dari toko buku Gramedia Depok, Jawa Barat. Sesungguhnya saat itu saya tak ada rencana membeli buku, hanya mengantarkan rekan kerja saya, Mba Maya, yang ingin membeli sesuatu. Eh tetiba teringat buku yang direkomendasikan sahabat saya, Nindia, buku ini.


Pulang bercerita tentang Dimas, dan tiga kawannya – Nugroho, Tjai, dan Risjaf -- yang terjebak di Paris, tak bisa pulang ke Indonesia karena status mereka sebagai eks tahanan politik (tapol). Mereka dihantui rasa bersalah karena teman-teman mereka di Indonesia diburu, diculik, disiksa, dan dirampas hak nya oleh pemerintah. Keluarganya pun diintrograsi terus menerus, tertekan secara fisik dan mental, termasuk Surti, mantan kekasih Dimas sekaligus istri dari Hananto. Pada akhirnya Lintang, anak dari perkawinan Dimas dengan Vivienne membuka masa lalu ayahnya, serta menjadi saksi pada salah satu peristiwa penting di negeri ini, kerusuhan Mei 1998.  

Yang saya suka dari novel ini adalah latar belakang peristiwa, lokasi, dan waktu diupayakan sesuai dengan sejarah. Saya pikir, novel ini akan saya rekomendasikan untuk dibaca oleh anak saya kelak saat ia belajar tentang Gerakan 10 September, Tragedi Trisakti, dan kerusuhan Mei 1998 di sekolahnya. Karena membaca novel ini rasanya jauh lebih menyenangkan daripada baca buku sekolah yang kaku dan taktis. Selain itu, novel ini juga mengisahkan drama percintaan yang seru, walau agak-agak frontal dan mengumbar hidup bebas.

Bagi saya yang lahir pada tahun 1990an, novel ini mampu membawa masuk ke dalam masa silam. Membuat saya membayangkan seperti apa yang terjadi pada masa itu. Saya belum lahir pada peristiwa di September 1965 dan Mei 1968, serta masih duduk di sekolah dasar saat Peristiwa Mei 1998 terjadi. Sekitar bulan Mei 1998, sempat saya dan teman-teman menyaksikan demonstrasi besar melalui lantai atas rumah guru les bahasa inggris, yang berada tepat di seberang gedung DPR RI. Saat itu saya belum mengerti apa yang sedang terjadi di negeri ini. Yang saya tau hanyalah banyak sekali demonstran di pekarangan Gedung DPR RI, di jalan tol arah slipi itu, dan duduk di atas gedung. Saya juga melihat asap yang banyak berkabutan di antara para demonstran. Kata ibu, namanya gas air mata. Katanya, mata kita bisa sangat perih bila terkena asap dari gas itu, tentara dan polisi menggunakannya untuk menghalau demonstran.

pendudukan Gedung DPR RI, Mei 1998
Sumber gambar : http://goo.gl/k5gt8e

Setelah saya pulang dari les bahasa inggris, saya melihat para demonstran yang lewat dan masuk ke dalam komplek perumahan guru les bahasa inggris saya, di Pejompongan, Jakarta Pusat. Saya pun segera memacu sepeda lebih cepat, agar lekas sampai di rumah nenek. Para demonstran yang saya lihat saat itu menyeramkan, mereka membawa spanduk-spanduk, bendera bertuliskan entah apa, sering berteriak-teriak, dan mencorengkan wajahnya dengan sesuatu berwarna putih. Belakangan saya tau itu odol yang digunakan untuk mengurangi efek gas air mata.

Pada masa itu pula saya sadar bahwa sedang terjadi peristiwa yang menyeramkan di negeri ini. Sekolah saya ada di daerah Pejompongan sedangkan rumah saya di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Setiap hari, setelah saya selesai les, kami (ibu, bapak, saya, kakak, dan adik saya) pulang ke rumah. Beberapa kali kami tidak bisa pulang karena banyak sekali demonstran dan tentara di jalan. Di dekat DPR RI dan Jalan Semanggi. Bahkan kabarnya ada baku tembak di daerah itu, ibu dan bapak sering sekali menyaksikan berita tentang ini di televisi.

Novel Pulang mengingatkan saya pada masa itu. Juga pada buku yang saya baca saat duduk di bangku SMP, berjudul Kunang-Kunang Kebenaran di Langit Malam. Buku yang ditulis oleh anak-anak para jenderal yang menjadi korban Gerakan 30 September, tentang ayah mereka yang diculik dan dibunuh di depan mata mereka oleh pasukan yang mengaku suruhan panglima tertinggi. Juga teringat pada pementasan Papermoon Puppet Theater dalam karya berjudul Mwatirika. Mirza membuat resensi yang bagus tentang pementasan itu.


Kisah-kisah pilu tentang orang-orang yang menjadi korban suatu masa. Korban kekuasaan, korban kekuatan yang terlalu memaksakan keinginan. Dan sekali lagi menyadarkan bahwa pembungkaman orang-orang yang berani menyuarakan kebenaran dan melawan penguasa adalah hal yang umum di nusantara.

No comments

Post a Comment

Search This Blog

Contact Form

Name

Email *

Message *